Friday, 27 December 2013

Tolong Jangan Seret Saya ke Masa Lalu

Hidup itu diciptakan untuk ketidaktenangan. Ya, kalau hidup tenang, pasti bukan hidup di dunia, tapi surga. -.-"

2 bulan yang lalu, aku memutuskan untuk keluar dari dunia jurnalistik sederhana yang ada di kampusku. Bukan tanpa sebab aku keluar. Percayalah, ini terlalu rumit dan frontal jika diceritakan detail di sini.

Mungkin alasan utama tidak dapat aku jelaskan di sini. Tapi menurutku alasan konyol yang membuatku keluar adalah aku takut tidak bisa menulis lagi. Lihat, blog ini begitu sepi. Aku sudah meluangkan waktuku untuk dunia jurnalistikku yang kadang kurasa aku bekerja sendiri, bukan team. Iri rasanya ketika melihat dashboard blogger, dipenuhi lomba menulis. Lalu, apa yang bisa aku lakukan? Aku hanya bisa tersenyum kecut dan menambahkan lomba itu ke list yang paling bawah. Aku selalu menaruh list akademik-ku di atas, lalu aku menaruh list "jurnalistik" di kedua, dan di ketiga aku taruh "teman". Keluarga? Buatku, keluarga masuk ke akademik, karena kalau nilai akademik-ku bagus, keluargaku juga senang. Ya, bisa dibilang keluarga adalah hal yang tak terpisahkan dari akademikku.

Aku kesal dengan diriku sendiri, kenapa aku tidak bisa mengatur waktu hingga aku melalaikan waktu menulisku? Kenapa? Padahal hanya ada 3 prioritas utama dalam hidupku. Tapi, untuk menjalankan yang tiga saja sudah sulit. Jujur, aku rindu melihat nama dan judulku terpampang, tapi rasanya sulit untuk mengulang sejarah itu. 

Kalau melihat lagi blog itu, screenshoot, dan list-list lomba menulis. Miris rasanya. Dan tahu apa yang aku lakukan? Aku malah menyalahkan dunia jurnalistik-ku. Aku bahkan meyakinkan pada diriku, "Berhenti berpikiran bahwa untuk menjadi penulis berawal dari editor". Aku tahu, menjadi editor adalah bagian dari mimpiku. Tapi aku harus menentukan apa yang sebenarnya aku inginkan? Menjadi penulis apa editor?
PENULIS PENULIS PENULISSSSSS.....

Lalu, kenapa aku masih berpusing-ria menjadi seorang editor? Mengapa kamu lupakan jalanmu untuk menjadi penulis? Kata-kata itu selalu menjadi tamparan bagi batinku. Dengan penuh pertimbangan dan alasan-alasan yang mendukung, akhirnya aku memutuskan keluar. Hmmm, awalnya aku menunda-nunda proses keluar-ku. Bukan karena apa-apa, karena aku sudah berjanji bahwa aku ingin keluar saat edisi 3 benar-benar berakhir. Edisi 3 belum berakhir, sudah banyak kerjaan yang menanti, dan seketika itu ada seseorang yang bilang "Oh, dia nggak jadi keluar ko, buktinya masih bertahan." Kata-kata itu..... Aku sudah tidak bisa menggambarkan dan menyebut apa yang pantas untuk melukiskan kata-kata itu. Hei, jangan pikir aku main-main dengan perkataanku. Jika kamu ingin bukti, baik, tanpa pikir panjang, aku pun langsung berhenti. 

Ada beberapa orang yang membujukku untuk masuk lagi. Tapi, maaf alasanku terlalu kuat, pendirianku terlalu teguh. Aku tetap harus keluar. Hmmm, sekedar mengingatkan lagi, aku keluar bukan karena aku takut aku tidak bisa menulis, tapi ada alasan yang tak bisa kujelaskan di sini. 

Ada beberapa orang yang masih terus menghubungiku, sampai puncaknya aku kesal dengan kata-kata yang menjanjikan bahwa semua yang aku alami di edisi-edisi sebelumnya tidak akan terulang lagi. Percaya tidak? Aku mengeluarkan kata-kata kasar yang membuat orang itu berhenti berbicara. Aku tahu, kata-kataku sungguh menyakitkan. Tapi, tolong hargai keputusanku. Manusia itu butuh dihargai. Ya, aku juga. Tolong hargai kepercayaan yang telah aku berikan pada kalian semua. Tolong buktikan padaku bahwa apa yang kalian katakan bisa kalian pertanggung-jawabkan. Aku hanya butuh itu. 

Semakin hari, emosiku sudah tidak terkendali. Aku masih menjadi bagian mereka di facebook, baik grup internal maupun eksternal. Aku kesal, tak sadarkah kalian bahwa aku bukanlah anggota kalian? Tak sadarkah kalian bahwa aku sekarang adalah orang asing? Aku tidak bermaksud memutuskan tali silaturahmi kita. Tidak, tidak sama sekali. Aku hanya ingin tidak terlibat lagi dalam dunia jurnalistik kampus. Aku tidak ingin tahu rahasia-rahasia jurnalistik kampus. Ingatlah, aku ini orang asing, aku bukan lagi bagian kalian. Menjadi bagian kalian adalah masa laluku. bisakah kalian tidak menyeretku pada masa laluku itu?

Tolong, kalian sudah dewasa. Kalian tau mana hal yang harus orang lain tahu dan hal yang hanya kalian saja yang tahu. Sebulan lamanya, aku masih menjadi bagian dari mereka, padahal aku adalah orang asing. Aku menghargai dan menjunjung tinggi privasi seseorang. Kalau kalian diam saja, aku tidak boleh diam saja. Akhirnya aku keluar sendiri dari grup. Yang di facebook mudah, hanya tinggal keluar. Sedangakan untuk di WA, cukup sulit untuk keluar diam-diam. Aku sampai memblokir semua teman-teman WA-ku agar mereka tidak tahu aku sudah keluar dari grup. Setelah itu, aku buka blokir mereka. Susah payah aku lakuknan agar rahasia kalian tetap terjaga. Sekali lagi kutegaskan, aku bukan ingin menghindar dari kalian. Aku hanya ingin kalian membedakan mana yang harusnya diketahui oleh orang asing dan bukan. Ingat, aku adalah masa lalu dari jurnalistik itu.

Saat pertemuan pertama kali dengan anggota baru, aku mendapat sebuah sms dari salah seorang dewan redaksi. Isinya...... intinya beliau kecewa dengan keputusanku yang keluar dari dunia jurnalistik kampus, dan yang membuat beliau kecewa, aku tidak pamitan. Hmmm, di sini aku mengakui kesalahanku. Mungkin dewan redaksi perlu mendengarkan alasanku kenapa aku memutuskan untuk keluar. Hari itu, aku membalas juga bahwa aku meminta maaf dan memutuskan untuk pamit dan memberikan alasannya Senin. Ketika Senin datang, aku sms, kapan bisa ketemu dan dimana. Tau apa yang aku dapatkan tak ada jawaban. Di situ, emosiku naik, tolong jangan menjadi anak kecil. Anda lebih tua dari saya, bahkan jabatan Anda lebih tinggi dari saya, dan terlebih Anda lebih mengerti agama dari pada saya. Apa ini jawaban dari kedudukan Anda? Setimpal-kah?

Saya akan selalu ingat, hal yang sudah menjatuhkan harga diri saya. Ketika salah satu dewan berkata, "Kalau sekiranya kalian tak bertahan di sini, lebih baik keluar, jangan menghalangi niat yang benar. Dan kalau kalian keluar, berarti memang dari awal kalian masuk, niat kalian sudah salah. Dan saya juga tidak akan melarang atau menghalang-halangi bagi kalian yang akan keluar." Kenyataannya? sangat kontradiktif sekali.

Jujur, pernyataan di atas membuat harga diriku jatuh. Membuat harga diriku terinjak-injak. Aku keluar bukan karena niatku yang salah. dari awal, aku tidak berharap uang, bahkan uang yang kalian berikan masih tersimpan baik di dompetku. Aku berencana memberikannya pada orang yang tepat, atau di sedekahkan, hanya saja, aku merasa belum ada momen yang tepat. Aku tau, aku tak pantas menerima uang itu. Berulang kali aku menawarkan pada mereka ini ambil uangnya, aku tak pantas menerimanya. tapi, mereka tak pernah menanggapinya. Asal kalian tau, uang itu masih tersimpan dan tak akan pernah aku gunakan. Bahkan uang 50ribu yang dipakai untuk makan 2 orang anak jurnalistik, akan aku gantikan, sehingga aku akan menyedekahkannya 150rb, sesuai honor yang aku terima. 

Susah payah aku menjauhi hal-hal privasi kalian, tapi tepat pada tanggal 26 Desember, kalian mengundangku di list twitter untuk menjadi bagian "CREW" jurnalistik itu. Tolong. Mengerti aku. Menjadi Crew adalah masa laluku. Jangan seret aku ke masa laluku. Aku tau, kadang aku merindukan itu, tapi bagaimana pun aku sudah memilih jalanku. Asal kalian tau, Aku pernah menjadi bagian kalian dan aku merasa Bangga pernah menjadi bagian dari kalian. Beberapa posting tentang kalian sudah aku post-kan di blog ini, agar ceritaku, kebanggaanku tidak akan pernah hilang, selalu terekam dalam dunia maya dan bisa diakses kapanpun, dan oleh siapapun. 

Siapa pun yang membaca tulisanku ini.... Tolong, jangan seret aku ke masa laluku. Anda sudah dewasa, sudah bisa memebedakan mana yang dapat dipublikasikan dan tidak, mana yang bersifat Privasi dan tidak. 
Tolong.... Tolong jangan seret aku ke masa laluku lagi..... Kalian tetap hidup di hati dan hidupku. Ya, kalian masih tetap hidup sebagai kenangan.....


No comments:

Post a Comment

Comment = respect = encourage ^^
Thank you ♥♥♥♥♥