Mencoba menguak
adanya tindak pidana korupsi dengan audit biasa (general audit atau opinion
audit) sama halnya mencoba mengikat kuda dengan benang jahit. BPK perlu alat
yang lebih dalam dan handal dalam membongkar indikasi adanya korupsi atau
tindak penyelewengan lainnya di dalam Pemerintahan ataupun dalam BUMN dan BUMD
salah satu metodologi audit yang handal adalah dengan metodologi yang dikenal
sebagai Akuntansi forensik ataupun Audit Forensik.
Akuntansi
forensik dahulu digunakan untuk keperluan pembagian warisan atau mengungkap
motif pembunuhan. Bermula dari penerapan akuntansi dalam persoalan hukum, maka
istilah yang dipakai adalah akuntansi (dan bukan audit) forensik. Perkembangan
sampai dengan saat ini pun kadar akuntansi masih kelihatan, misalnya dalam
perhitungan ganti rugi baik dalam pengertian sengketa maupun kerugian akibat
kasus korupsi atau secara sederhana akuntansi forensik menangani fraud
khususnya dalam pengertian corruption dan missappropriation of asset.
Profesi ini
sebenarnya telah disebut dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
pasal 179 ayat (1) menyatakan:”Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai
ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan
keterangan ahli demi keadilan”’. Orang sudah mahfum profesi dokter yang disebut
dalam peraturan diatas yang dikenal dengan sebutan dokter ahli forensik, namun
”ahli lainnya” yang dalam ini termasuk juga akuntan belum banyak dikenal
sebutannya sebagai akuntan forensik.
2.1.1 Pengertian Forensik
(Tujuan sub-bab
ini adalah mengetahui pengertian Forensik, dan Akuntansi Forensik)
Istilah
akuntansi forensik merupakan terjemahan dari forensic accounting (bahasa
Inggris). Menurut Merriam Webster’s collegiate distionary (edisi ke-10) :
Fo-ren-sic
(adj) [L forensic public, fr forum forum] (1659):
1. Belonging
to used in, or sutable to court of judicature or to public discussion and
debate
2. ARGUMENTATIVE,
RHETORICAL
3. Relating
to or dealing with the applicaion of scientif knowledge to legal problems
Dari makna ketiga kata forensic dalam kamus
tersebut, makna akuntansi forensik adalah penerapan disiplin akuntansi pada
masalah hukum. Masalah hukum dapat diselesaikan di dalam atau di luar
pengadilan. Penyelesaian di dalam pengadilan dilakukan melalui litigasi
(litigation) atau dengan berperkara atau beracara di pengadilan. Penyelesaian
diluar pengadilan (out-of-court settlement) dilakukan secara nir-litigasi
(non-litigation). Penyelesaian di luar pengadilan dapat lewat arbitrase dan
alternatif penyelesaian sengketa atau alternative dispute resolution, juga
keputusan berdasarkan ketentuan administratif, bersifat nir-litigasi. Dari
penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa definisi dari akuntansi forensik
adalah penerapan disiplin akuntansi dalam arti luas, termasuk auditing, pada
masalah hukum untuk penyelesaian hukum di dalam atau di luar pengadilan.
Akuntansi forensik
adalah praktik khusus bidang akuntansi yang menggambarkan keterlibatan yang
dihasilkan dari perselisihan aktual atau yang diantisipasi atau litigasi.
"Forensik" berarti "yang cocok untuk digunakan dalam
pengadilan hukum", dan itu adalah untuk yang standar dan potensi hasil
yang umumnya akuntan forensik harus bekerja. Akuntan forensik, juga disebut
sebagai auditor forensik atau auditor investigasi, seringkali harus memberikan
bukti ahli pada sidang akhirnya
Di Amerika Serikat, pada mulanya akuntansi forensik
digunakan untuk menentukan pembagian warisan atau mengungkapkan motif
pembunuhan. Bermula dari penerapan akuntansi untuk memecahkan persoalan hukum,
maka istilah yang dipakai adalah akuntansi forensik (bukan audit). Sekarang pun
kadar akuntansinya masih terlihat, misalnya dalam perhitungan ganti rugi baik
dalam konteks keuangan negara, maupun diantar pihak-pihak dalam sengketa
perdata. Ada yang menggunakan istilah audit forensik untuk kegiatan audit
investigatif. Dalam rangka sertifikasi, istilah yang digunakan adalah auditor
forensik dan bukan akuntan forensik. Pertimbangannya adalah anggota profesi ini
bukan hanya akuntan.
Tugas akuntansi forensik adalah memberikan pendapat
hukum dalam pengadilan (litigation). Disamping tugas akuntan forensik untuk
memberikan pendapat hukum dalam pengadilan (litigation) ada juga peran akuntan
forensik dalam bidang hukum diluar pengadilan (non litigation) misalnya dalam
membantu merumuskan alternatif penyelesaian perkara dalam sengketa, perumusan
perhitungan ganti rugi dan upaya menghitung dampak pemutusan / pelanggaran
kontrak.
2.1.2 Implementasi
Akuntansi Forensik
(Tujuan sub-bab
ini adalah mengetahui pada bidang apa saja Akuntansi Forensik dapat
dipraktekkan dan gambaran penggunaan akuntansi forensik dalam bidang tersebut)
Akuntansi
forensik dipraktikan dalam bidang yang luas, seperti:
1.
Dalam penyelesaian sengketa antar
individu,
2.
Di perusahaan swasta dengan berbagai
bentuk hukum, perusahaan tertutup maupun yang memperdagangkan saham atau
obligasinya di bursa, joint venture, special purpose companies
3.
Di perusahaan yang sebagian atau seluruh
sahamnya dimiliki negara, baik pusat maupun daerah
4.
Di departemen/kementrian, pemerintahan
pusat dan daerah, MPR, DPR/DPRD dan lembaga-lembaga negara lainnya, mahkamah
(seperti MK dan MY), komisi-komisi (seperti KPU dan KPPU), yayasan, koperasi,
badan hukum milik negara, badan layanan umum dan seterusnya.
Akuntansi
forensik dapat diterapkan di sektor publik maupun sektor privat (perorangan,
perusahaan swasta, yayasan swasta, dll) dengan memasukkan para pihak yang
berbeda.
2.1.2.1 Akuntansi Forensik di Pengadilan
Akuntan forensik dapat digunakan di
sektor publik ataupun privat. Di Indonesia, penggunaan akuntan forensik di
sektor publik lebih menonjol dari sektor privat karena jumlah perkara yang
lebih banyak di sektor publik. Di sektor publik, para penuntut umum ( dari
kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi) menggunakan ahli dari BPK, BPKP,
dan inspektorat Jenderal dari Departemen yang bersangkutan. Di lain pihak,
terdakwa dan tim pembelanya menggunakan ahli dari kantor-kantor akuntan publik,
kebanyakan ahli ini sebelumnya berpraktik di BPKP. Pengertian ahli menurut
KUHAP terkait dengan seseorang, perorangan atau individu, sedangkan menurut
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksaan Keuangan RI. Pasal
11 huruf c dari undang-undang tersebut berbunyi sebagai berikut:
1. ......karena
sifat pekerjaannya
2. ......pemerintah
pusat atau pemerintah daerah; dan/atau
3. Keterangan
Ahli dalam proses peradilan mengenai kerugian negara/daerah.
Pihak
yang memberikan keterangan ahli adalah BPK, bukan pribadi (anggota, karyawan,
auditor dan seterusnya). Ini berbeda dengan Ahli menurut KUHAP yang dikutip
pada pernyataan di atas. Adapun perbandingan Ahli dan Pemberian Keterangan Ahli
selaku pribadi (seperti dalam KUHAP) dan selaku lembaga (dalam hal ini BPK).
NO
|
Ahli
selaku pribadi (KUHAP)
|
Ahli
selaku lembaga (BPK)
|
1. Kompetensi
Ahli
|
Ahli
memberikan keterangan yang diminta instansi berwenang sesuai kompetensi Ahli
yang melekat pada pribadinya.
|
Ahli
memberikan keterangan tentang kerugian negara yang merupakan kompetensi BPK; bukan
kompetensi pribadi, sehingga tidak
melekat pada pribadi pemegang jabatan Anggota BPK atau Pemeriksa BPK.
|
2. Substansi
keterangan Ahli
|
Ahli
memberikan keterangan tentang substansi yang menjadi kepakarannya, penguasaan
pengetahuannya secara pribadi, dan pengembangan pengetahuannya. Pendapat yang
diberikannya merupakan pendapat pribadi.
|
Ahli
memberikan keterangan tentang kerugian negara/daerah karena pelaksanaan tugas
konstitusional BPK. Pendapat yang diberikannya merupakan pendapat BPK.
|
3. Pengolahan
informasi
|
Informasi
yang dipaparkan Ahli dihadapan penyidik maupun sidang pengadilan diolahnya
secara pribadi dengan pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya secara
pribadi
|
Informasi
tentang kerugian negara yang dipaparkan dihadapan penyidik maupun sidang pengadilan
diolah secara kelembagaan. Informasi ini tidak dimiliki sebelumnya, sehingga
diperoleh melalui pemeriksaan investigatif.
|
4. Kepemilikin
atas keterangan Ahli
|
Keterangan
yang diberikan Ahli merupakan milik pribadinya.
|
Keterangan
yang diberikan merupakan milik BPK sebagai lembaga negara.
|
5. Kebebasan
memberikan pendapat
|
Ahli
mempunyai kebebasan pribadi dalam memberikan pendapat yang berkaitan dengan
keahliannya. Pendapat yang diterangkannya adalah hasil pemikirannya
|
Ahli
merupakan personifikasi BPK. Ia tidk memiliki kebebasan pribadi dalam
memberikan keterangan. Ia senantiasa harus berkoordinasi dengan pimpinan
karena yang diterangkannya adalah hasil pemeriksaan BPK.
|
6. Batas
|
Ahli
memberikan keterangan sesuai dengan kepakaran yang dimilikinya. Ia hanya
dibatasi oleh kedalaman pengetahuan dan pengalamannya.
|
Ahli
memberikan keterangan sesuai dengan Hasil Pemeriksaan BPK.
|
2.1.2.2 Sengketa
Sengketa bisa terjadi karena satu
pihak merasa haknya dikurangi, dihilangkan atau dirampas oleh pihak lain. Hak yang
dikurangi atau dihilangkan ini bisa berupa:
1. Uang
atau aset lain, baik aset berwujud maupun tak berwujud yang dapat diukur dengan
uang
2. Reputasi,
misalnya tercemarnya nama baik apakah itu nama pribadi, keluarga atau nama
perusahaan
3. Peluang
bisnis, misalnya tidak bisa ikut dalam proses tender dengan alasan yang
terkesan diskriminatif
4. Gaya
hidup, misalnya ditolak memasuki klub atau kawasan yang dinyatakan eksklusif
5. Hak-hak
lain yang berkaitan dengan transaksi bisnis.
Sengketa
dapat dipicu oleh perbedaan penafsiran mengenai sesuatu yang sudah diatur dalam
perjanjian atau mengenai sesuatu yang memang belum diatur. Dalam sengketa,
masing-masing pihak merasa benar sepenuhnya. Akan tetapi bisa juga, ia mengakui
lawannya benar dalam hal tertentu dan ia sendiri benar dalam hal-hal lain.
Dalam kasus sengketa, pihak-pihak yang bersengketa tidak dapat menyelesaikan
masalahnya tanpa bantuan dari pihak ketiga. Adapun faktor-faktor yang dapat
menentukan berhasil atau gagalnya penyelesaian sengketa oleh pihak-pihak yang bersengketa
adalah sebagai berikut:
1. Berapa
besar konsekuensi keuangan pada pihak yang bersengketa. Konsekuensi ini bukan
saja jumlah yang disengketakan, tetapi juga biaya yang harus dikeluarkan untuk
menyelesaikan sengketa, dan perkiraan mengenai berapa lama sengketa ini akan
terselesaikan. Masing-masing pihak mempunyai persepsi tentang kemampuan mereka
menanggung konsekuensi keuangan ini. Ada pihak yang merasa beruntung kalau
waktu penyelesaian diperkirakan akan panjang. Pihak ini berusaha untuk
mengulur-ulur waktu dengan bermacam-macam taktik.
2. Seberapa
jauh pertikaian, rasa iri atau dendam terjadi diantara pihak-pihak.
Kadang-kadang uang yang disengketakan (sekalipun jumlahnya besar) bukan
persoalan bagi mereka. Keinginan untuk memenangkan sengketa, lebih penting.
3. Apakah
penyelesaian sengketa ini akan berdampak dalam penyelesaian kasus serupa?
Misalnya, perusahaan yang bersengketa dengan seorang pegawainya akan khawatir
kalau ia kalah dalam sengketa ini, karena dalam waktu dekat ada kasus yang sama
yang harus segera diselesaikan.
4. Seberapa
besar dampak dari publisitas negatif yang ditimbulkan. Suatu kantor akuntan
publik (KAP) mempunyai kebijakan untuk tidak menuntut klienya meskipun KAP itu
percaya bahwa pengadilan akan memenangkannya. KAP itu khawatir bahwa publisitas
negatif akan memengaruhi reputasinya dalam hubungan dengan kliennya atau calon
kliennya.
5. Seberapa
besar beban emosional yang harus ditanggung. Beban emosional dapat tercermin
dalam berbagai hal, seperti dikucilkan dati masyarakatnya (kelompok bisnis atau
profesional yang merupakan bagian dari “habitat”-nya). Baginya, kemenangan atas
sengketa ini merupakan prinsip. Beban emosional bisa juga tercermin dalam
simbol atau lambang. Kemenangan dalam sengketa tertentu mempunyai makna atau
simbol yang mendalam baginya. Sengketa mengenai rumah tua peninggalan orang uta
bagi seseorang bisa merupakan simbol kehormatan dan kesetiaannya kepada
leluhurnya.
Sebaliknya,
juga ada faktor-faktor yang memudahkan penyelesaian sengketa antara
pihak-pihak, misalnya pandangan dan nilai-nilai hidup. Pihak yang dirugikan
mengikhlaskan penyelesaian sengketanya kepada pihak lawannya, karena
nilai-nilai hidupnya jauh lebih mulia baginya dibandingkan dengan kerugian
materi yang akan dideritanya. Hal semacam ini jarang dan tidak banyak
dipraktikan dalam dunia bisnis, akan tetapi hal semacam ini masih ada di
sana-sini. Sengketa bisa diselesaikan melalui arbitrase dan alternatif
penyelesaian sengketa, sedangkan untuk dua pihak lainnya dapat menyelesaikan
dengan cara litigasi.
2.1.2.3 Akuntansi Forensik di Indonesia
Bulan Oktober
1997 Indonesia telah menjaga kemungkinan untuk meminjam dana dari IMF dan World
Bank untuk menangani krisis keuangan yang semakin parah. Sebagai prasyarat
pemberian bantuan, IMF dan World Bank mengharuskan adanya proses Agreed Upon
Due Dilligence (ADDP) yang dikerjakan oleh akuntan asing dibantu beberapa
akuntan Indonesia. Temuan ADDP ini sangat mengejutkan karena dari sampel Bank
Besar di Indonesia menunjukkan perbankan kita melakuan overstatement asset
sebesar 28%-75% dan understatement kewajiban sebesar 3%-33%. Temuan ini segera
membuat panik pasar dan pemerintah yang berujung pada likuidasi 16 bank swasta.
Likuidasi tersebut kemudian diingat menjadi langkah yang buruk karena
menyebabkan adanya penarikan besar-besaran dana (rush) tabungan dan deposito di
bank-bank swasta karena hancurnya kepercayaan publik pada pembukuan perbankan.
ADPP tersebut tidak lain dari penerapan akuntansi forensik atau audit
investigatif.
Istilah akuntansi forensik di Indonesia baru mencuat setelah keberhasilan Pricewaterhouse
Coopers (PwC) sebuah kantor Akuntan Besar dunia (The Big Four) dalam membongkar
kasus Bank Bali. PwC dengan software khususnya mampu menunjukkan arus dana yang
rumit berbentuk seperti diagram cahaya yang mencuat dari matahari (sunburst).
Kemudian PwC meringkasnya menjadi arus dana dari orang-orang tertentu.
Sayangnya keberhasilan ini tidak diikuti dengan keberhasilan sistem pengadilan.
Metode yang digunakan dalam audit tersebut adalah
follow the money atau mengikuti aliran uang hasil korupsi Bank Bali dan in
depth interview yang kemudian mengarahkan kepada para pejabat dan pengusaha
yang terlibat dalam kasus ini.
Kasus lainnya pada tahun 2006, Pusat Pelaporan dan
Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mampu membuktikan kepada pengadilan bahwa
Adrian Waworuntu terlibat dalam penggelapan L/C BNI senilai Rp 1.3 Triliun,
dengan menggunakan metode follow the money yang mirip dengan metode PwC dalam
kasus Bank Bali dalam kasus lain dengan
metode yang sama PPTK juga berhasil mengungkapkan beberapa transaksi ”ganjil”
15 Pejabat Kepolisian Kita yang memiliki saldo rekening Milyaran rupiah padahal
penghasilan mereka tidak sampai menghasilkan angka fantastis tersebut.
2.1.3 Model Akuntansi Forensik
(Tujuan sub-bab ini adalah mengetahui model yang digunakan akuntansi
forensik)
Akuntansi
forensik pada awalnya adalah perpaduan yang paling sederhana antara akuntansi
dan hukum. Contoh penggunaan akuntan forensik dalam pembagian harta gono gini.
Di sini terlihat unsur akuntansinya, unsur menghitung besarnya harta yang akan
diterima pihak mantan suami dan mantan istri . Segi hukumnya dapat diselesaikan
di dalam atau di luar pengadilan, secara litigasi atau non litigasi. Model ini
dapat digambarkan sebagai berikut:
AKUNTANSI
|
HUKUM
|
Diagram
Akuntansi Forensik
|
Dalam kasus yang lebih pelik, ada satu bidang
tambahan (di samping Akuntansi dan Hukum). Bidang tambahan ini adalah audit,
sehingga model akuntansi forensiknya dipresentasikan dalam tiga bidang.
Dalam suatu audit secara umum maupun audit yang
khusus untuk mendeteksi fraud (kecurangan), si auditor internal maupun
eksternal secara proaktif berupaya melihat kelemahan-kelemahan dalam sistem
pengendalian intern, terutama yang berkenaan dengan perlindungan terhadap aset,
yang rawan akan terjadinya kecurangan. Ini adalah bagian dari keahlian yang
harus dimiliki oleh seorang auditor. Sama seperti seorang ahli sekuriti
memeriksa instalasi keamanan di perusahaan minyak atau di perhotelan, dan
memberi laporan mengenai titik lemah dari segi keamanan dan pengamanan
perusahaan minyak atau hotel tersebut. Kalau dari suatu audit umum diperoleh
temuan audit, atau ada tuduhan (allegation) dari pihak lain, atau ada keluhan
(complaint), auditor bersikap reaktif. Ia menanggapi temuan, tuduhan atau
keluhan tersebut. Contoh: temuan audit menunjukkan kepala bagian pengadaan
berulang kali meminta kasir membayar pemasok A yang tagihannya belum jatuh
tempo, padahal pemasok lain yang tagihannya melewati tanggal jatuh tempo tidak
diminyakan pembayaranya. Pemasok yang dirugikan menuduh kepala bagian pengadaan
itu berkolusi dengan pemasok A, sejak dalam proses tender dimulai. Pemakai
barang yang dibeli mengeluh bahwa barang yang dipasok A mutunya jauh dibawah
spesifikasi yang disetujui. Dalam contoh tersebut, temuan audit, tuduhan dan
keluhan kebetulan untuk hal yang sama atau terkait. Akan tetapi temuan audit,
tuduhan dan keluhan bisa juga mengenai hal-hal yang tidak berkaitan, tetapi
mengarah kepada petunjuk adanya fraud. Auditor bereaksi terhadap temuan audit,
tuduhan dan keluhan serta mendalaminya dengan melaksanakan audit investigatif.
Audit investigatif dimulai pada bagian kedua dari audit fraud yang bersifa
reaktif, yakni sesudah ditemukannya indikasi awal adanya kecurangan. Audit
investigatif merupakan bagian dan titk awal dari akuntansi forensik.
|
Jenis
penugasan
|
Fraud Audit
|
Akuntansi forensik
|
||||
Proaktif
|
Investigatif
|
|||||
Sumber
informasi
|
Risk
assesment
|
Temuan
audit Tuduhan Keluhan Tip
|
Temuan audit
|
|||
AKUNTANSI
|
HUKUM
|
|||||
Output
|
Identifikasi
potensi fraud
|
Indikasi
awal adanya fraud
|
Bukti ada/tidaknya pelanggaran
|
|||
Bagan ini memperlihatkan proses audit investigatif,
akuntansi dan hukum. Seperti dijelaskan di awal, penyelesaian sengketa dapat
dilakukan di bawah bebagai ketentuan perundang-undangan seperti hukum pidana,
hukum perdata, hukum administratif dan arbitrase serta alternatif penyelesaian
sengketa. Hal ini digambarkan dalam bagan.
Jenis
Penugasan
|
Akuntansi Forensik
|
||||
Fraud
Audit
|
Akuntansi
Kerugian
|
Hukum:
-pidana
-perdata
-administratif
-arbitrase
dan alternatif penyelesaian sengketa
|
|||
Proaktif
|
Investigatif
|
||||
Sumber
Informasi
|
Risk
Asessment
|
Temuan
audit tuduhan keluhan tip
|
temuan
audit
|
||
Output
|
Identifikasi
potensi fraud
|
Indikasi
awal adanya fraud
|
Bukti
ada/tidaknya pelanggaran
|
Bagan diatas akan lebih rumit jika kejahatannya
adalah lintas negara.
2.1.3.1 Segitiga Akuntansi Forensik
Cara
lain melihat akuntansi forensik adalah dengan menggunakan apa yang penulis
istilahkan sebagai segitiga akuntansi forensik.
Konsep
yang digunakan dalam segitiga akuntansi forensik ini adalah konsep hukum yang
paling penting dalam menetapkan ada atau tidaknya kerugian, dan kalau ada
bagaimana konsep perhitungannya. Di sektor publik maupun privat, akuntansi
forensik berurusan dengan kerugian dan kerugian adalah titik pertama dalam
segitiga akuntansi forensik. Titik kedua dalam segitiga akuntansi forensik
adalah perbuatan melawan hukum. Tanpa perbuatan melawan hukum, tidak ada yang
dapat dituntut untuk mengganti kerugian. Titik ketiga dalam segitiga akuntansi
forensik adalah adanya keterkaitan antara kerugian dan perbuatan melawan hukum
atau ada hubungan kausalitas antara kerugian dan perbuatan melawan hukum.
Perbuatan melawan hukum dan hubungan kausalitas adalah ranahnya para ahli dan
praktisi hukum. Perhitungan besarnya kerugian adalah ranahnya akuntan forensik.
Dalam mengumpulkan bukti untuk menetapkan adanya hubungan kausalitas, akuntan
forensik dapat membantu para ahli dan praktisi hukum. Segitiga akuntansi
forensik merupakan model yang mengaitkan disiplin hukum, akuntansi dan
auditing.
2.1.3.2 Fosa dan Cosa
Fraud audit
terdiri dari dua komponen. Komponen pertama, proactive fraud audit (fraud audit
yang proaktif), yang berada diluar payung akuntansi forensik. Komponen kedua,
investigatif audit merupakan bagian dari akuntansi forensik.
Berbagai istilah
dipakai untuk fraud audit yang proaktif, ada yang menggunakan kajian sistem yang bertujuan
mengidentifikasikan potensi-potensi atau resiko terjadinya fraud. Dalam
teknologi informasi, kajian atas sitem untuk mengetahui kelemahan dalam sistem
itu disebut system audit, dengan penjelasan mengenai orientasi atau tujuannya
yakni mengidentifikasikan resiko terjadinya fraud dengan istilah atas usulan
penulis yaitu fraud-oriented systems audit (FOSA). Kalau fokus dalam kajian ini
adalah korupsi, penulis mengusulkan istilah corruption-oriented systems audit
(COSA). Jadi, FOSA digunakan untuk kajian sistem yang bertujuan untuk
mengidentifikasi potensi fraud secara umum dan COSA digunakan untuk kajian
sistem yang bertujuan untuk mengidentifikasi potensi korupsi secara spesifik.
Adapun langkah-langkah yang menggambarkan langkah dalam FOSA yakni:
2.1.4 Gambaran Proses Audit
Forensik
(Tujuan sub-bab ini adalah mengetahui langkah-langkah yang harus
dilakukan untuk melakukan audit forensik)
1. Identifikasi masalah
Dalam tahap ini, auditor melakukan pemahaman awal terhadap kasus yang hendak
diungkap. Pemahaman awal ini berguna untuk mempertajam analisa dan spesifikasi
ruang lingkup sehingga audit bisa dilakukan secara tepat sasaran.
2. Pembicaraan dengan klien
Dalam tahap ini, auditor akan melakukan pembahasan bersama klien terkait
lingkup, kriteria, metodologi audit, limitasi, jangka waktu, dan sebagainya.
Hal ini dilakukan untuk membangun kesepahaman antara auditor dan klien terhadap
penugasan audit.
3. Pemeriksaan pendahuluan
Dalam tahap ini, auditor melakukan pengumpulan data awal dan
menganalisanya. Hasil pemeriksaan pendahulusan bisa dituangkan menggunakan
matriks 5W + 2H (who, what, where, when, why, how, and how much). Investigasi
dilakukan apabila sudah terpenuhi minimal 4W + 1H (who, what, where, when, and
how much). Intinya, dalam proses ini auditor akan menentukan apakah investigasi
lebih lanjut diperlukan atau tidak.
4. Pengembangan rencana pemeriksaan
Dalam tahap ini, auditor akan menyusun dokumentasi kasus yang dihadapi,
tujuan audit, prosedur pelaksanaan audit, serta tugas setiap individu dalam
tim. Setelah diadministrasikan, maka akan dihasilkan konsep temuan. Konsep
temuan ini kemudian akan dikomunikasikan bersama tim audit serta klien.
5. Pemeriksaan lanjutan
Dalam tahap ini, auditor akan melakukan pengumpulan bukti serta
melakukan analisa atasnya. Dalam tahap ini lah audit sebenarnya dijalankan.
Auditor akan menjalankan teknik-teknik auditnya guna mengidentifikasi secara
meyakinkan adanya fraud dan pelaku fraud tersebut.
6. Penyusunan Laporan
Pada tahap akhir ini, auditor melakukan penyusunan laporan hasil audit
forensik. Dalam laporan ini setidaknya ada 3 poin yang harus diungkapkan.
Poin-poin tersebut antara lain adalah:
a.
Kondisi,
yaitu kondisi yang benar-benar terjadi di lapangan.
b.
Kriteria,
yaitu standar yang menjadi patokan dalam pelaksanaan kegiatan. Oleh karena itu,
jika kondisi tidak sesuai dengan kriteria maka hal tersebut disebut sebagai
temuan.
c.
Simpulan,
yaitu berisi kesimpulan atas audit yang telah dilakukan. Biasanya mencakup
sebab fraud, kondisi fraud, serta penjelasan detail mengenai fraud tersebut.
2.1.5. Jasa-jasa Forensik
(Tujuan sub-bab ini adalah mengetahui macam-macam jasa forensik)
Akuntansi forensik dibagi ke dalam dua bagian: jasa
penyelidikan (investigative services) dan jasa litigasi (litigation services).
Jenis layanan pertama mengarahkan pemeriksa penipuan atau auditor penipuan,
yang mana mereka menguasai pengetahuan tentang akuntansi mendeteksi, mencegah,
dan mengendalikan penipuan, dan misinterpretasi. Jenis layanan kedua
merepresentasikan kesaksian dari seorang pemeriksa penipuan dan jasa-jasa
akuntansi forensik yang ditawarkan untuk memecahkan isu-isu valuasi, seperti
yang dialami dalam kasus perceraian. Sehingga, tim audit harus menjalani
pelatihan dan diberitahu tentang pentingnya prosedur akuntansi forensik di
dalam praktek audit dan kebutuhan akan adanya spesialis forensik untuk membantu
memecahkan masalah.
Menurut kantor
akuntan the Big Four, yang termasuk jasa-jasa forensik yaitu:
1. Analytic
and Forencsic Technology (Teknologi Analitik dan Forensik) adalah jasa-jasa
yang dikenal sebagai computer forensics, seperti data imaging (termasuk
memulihkan kembali data komputer yang hilang atau dihilangkan) dan data mining.
2. Fraud
Risk Management (Manajemen Risiko terhadap Fraud), peralatan analisisnya
terdiri atas perangkat lunak ini dilindungi hak cipta, seperti Tip-Offs
Anonymous, Dtermine, dan Dtect
3. FCPA
Reviews and Investigations (FCPA-review dan investigasi). FCPA adalah
undang-undang di Amerika Serikat yang memberikan sanksi hukum kepada entitas
tertentu atau pelakunya (agent) yang menyuap pejabat atau penyelenggara negara
di luar wilayah Amerika Serikat. FCPA investigations merupakan jasa investigasi
ketika pelanggaran FCPA sudah terjadi.
4. Anti
Money Laudering Services (Jasa Pencegahan Pencucian Uang). Jasa ini diberikan
kantor akuntan pada potensi pelanggaran terhadap undang-undang pemberantasan
pecucian uang.
5. Whistleblower
Hotline. Banyak fraud yang terungkap karena whistleblower memberikan informasi
(tip off) secara diam-diam atau tersembunyi (anonymous) tentang fraud yang
sudah atau sedang berlangsung. Kantor akuntan ini menggunakan perangkat lunak
yang dilindungi hak cipta (Tip-Offs Anonymous)
6. Business
Intelegence Services (Jasa Inteligen Bisnis). Istilah Intelegence memberi kesan
bahwa kantor akuntan memberikan jasa mata-mata atau melakukan pekerjaan
detektif. Hal yang dilakukan adalah pemeriksaan latar belakang (background
check) seseorang atau suatu entitas. Jasa ini diperlukan oleh perusaaan yang
akan melakukan akuisis, merger, atau menanmkan uangnya pada perusahaan lain,
ini adalah bagian dari jasa yang dikenal sebagai due diligence. Jasa
intelegence juga bermanfaat dalam menciptakan kesadaran mengenai siapa
pelanggan kita.
Dari penjelasan mengenai jasa0jasa
forensik yang diberikan The Big Four di atas, kita akan mendapat kesan bahwa
jasa tersebut seharusnya diberikan oleh seseorang yang mempelajari dan
mempraktikkan ilmu kepolisian (police science).The Big Four memang lebih banyak
memperkerjakan mantan anggota kepolisian, sperti dari Scottland Yard, FBI, dan
lembaga serupa seperi itu.
2.2.4 Perbedaan Akuntansi Forensik dengan
Akuntansi Konvensional
(Tujuan
sub-bab ini adalah mengetahui perbedaan antara Akuntansi Forensik dan Akuntansi
Konvensional, sehingga pembaca dapat mengaplikasikan akuntansi forensik dengan
baik)
Perbedaaan utama akuntansi forensik
dengan akuntansi maupun audit konvensional lebih terletak pada mindset
(kerangka pikir). Metodologi kedua jenis akuntansi tersebut tidak jauh berbeda.
Akuntasi forensik lebih menekankan pada keanehan (exceptions, oddities,
irregularities) dan pola tindakan (pattern of conduct) daripada kesalahan
(errors) dan keteledoran (ommisions) seperti pada audit umum. Prosedur utama
dalam akuntansi forensik menekankan pada analytical review dan teknik wawancara
mendalam (in depth interview) walaupun seringkali masih juga menggunakan teknik
audit umum seperti pengecekan fisik, rekonsiliasi, konfirmasi dan lain sebagainya.
Akuntansi
forensik biasanya fokus pada area-area tertentu (misalnya penjualan, atau
pengeluaran tertentu) yang telah terjadi tindak kecurangan baik dari laporan
pihak dalam atau orang ketiga (tip off) atau, petunjuk terjadinya kecurangan
(red flags), petunjuk lainnya. Data menunjukkan bahwa sebagian besar tindak
kecurangan terbongkar karena tip off dan ketidaksengajaan (accident).
Downlad Full File with Source and picture (Akuntansi Forensik, Audit Kecurangan, Audit Investigatif, dan Audit Berbasis Risiko) here
Downlad Power Point (Akuntansi Forensik, Audit Kecurangan, Audit Investigatif, dan Audit Berbasis Risiko) here
Downlad Power Point (Akuntansi Forensik, Audit Kecurangan, Audit Investigatif, dan Audit Berbasis Risiko) here
Credit : Shein Shein
Please take full credit for taking out
Hello i am from pekanbaru, Indonesia. Thankyou for making this blog, very helpful. :)
ReplyDeleteglad to hear that 💙
Delete