Sunday 20 September 2015

Fraud

2.2.1    Pengertian Fraud

(Tujuan sub-bab ini adalah memahami pengertian fraud)
Kecurangan adalah salah saji laporan keuangan yang disengaja. Ada juga istilah lain yang sering kali dipergunakan untuk menggambarkan suatu jenis fraud, yakni kejahatan kerah putih atau white-collar crime
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) misalnya, menyebutkan beberapa pasal yang mencakup pengertian fraud seperti :
1.    Pasal 362 tentang pencurian (definisi KUHP) : “mengambil barang sesuatu, yang seluruhanya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum”)
2.    Pasal 368 tentang pemerasan dan pengancaman (definisi KUHP: “dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barnag sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat hukum atau menghapuskan piutang)
3.    Pasal 372 tentang penggelapan (definisi KUHP: “dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada di dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan”)
4.    Pasal 378 tentang Perbuatan curang (definisi KUHP: “dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberikan hutang maupun menghapuskan piutang”)
5.    Pasal 396 tentang Merugikan pemberi piutang dalam keadaan pailit.
6.    Pasal 406 tentang menghancurkan atau merusakkan barang (definisi KUHP:”dengan sengaja atau melawan hukum menghancurkan, merusakkan, membikin tak dapat di pakai atau menghilangkan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain.
7.    Pasal 209, 210, 387, 388,415, 417, 418, 419, 420, 423, 425, dan 435 yang secara khusus diatur dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Undang-undang nomor 31 tahun 1999)

2.2.2    Fraud Tree (Pohon fraud)

(Tujuan sub-bab ini adalah memahami occupaational fraud)
Secara skematis, Association of certified Fraud Examiners (ACFE) menggambarkan occupational fraud dalam bentuk fraud tree. Fraud ini menggambarkan cabang-cabang dari fraud dalam hubungan kerja, beserta ranting dan anak rantingnya.


2.2.2.1   Corruption

Cabang dan ranting yang menggambarkan fraud, serupa tetapi tidak sama dengan istilah korupsi dalam ketentuan perundang-undangan kita. Conflict of interest atau benturan kepentingan sering kita jumpai dalam berbagai bentuk, diantaranya bisnis pelat merah atau bisnis penjabat (penguasa) dan keluarga serta kroni mereka yang menjadi pemasok atau rekanan di lembaga-lembaga pemerintah dan di dunia bisnis sekalipun. Ciri-ciri atau indikasinya, mereka menjadi pemasok:
1.    Selama bertahun-tahun. Bukan saja selama pejabat tersebut berkuasa. Melalui kontrak jangka panjang, bisnis berjalan terus meskipun pejabat tersebut sudah lengser.
2.    Nilai kontrak-kontrak itu relative mahal ketimbang kontrak yang di buat at arms length. Dalam bahasa sehari-hari praktik ini di kenal sebagai mark up atau penggelumbungan. Istilah mark up sendiri sebenarnya kurang tepat, karena baik mark up maupun mark down merupakan bagian dari praktik bisnis yang sehat.
3.    Para rekanan ini, meskipun hanya segelintir, menguasai pangsa pembelian yang relative sangat besar di lembaga tersebut.
4.    Meskipun rekanan ini keluar sebagai “pemenang” dalam proses tender resmi, namun kemenangannya dicapai dengan cara-cara tidak wajar.
5.    Hubungan antara penjual dan pembeli lebih dari hubungan bisnis. Pejabat atau penguasa bisa menggunakan sanak saudaranya (nepotisme) sebagai orang depan atau ada persekongkolan (kolusi) yang melibatkan penyuapan (bribery).

Bisnis yang mengandung benturan kepentingan sering disamarkan dengan kegiatan sosial-keagamaan dan muncul dalam bentuk yayasan-yayasan.
Konsep conflict of interest digunakan dalam konvensi PBB mengenai pemberantasan korupsi (Uniteds Nations Convention Againts Corruption). Indonesia meratifikasi konvensi ini. “Pengertian, definisi, atau konsep conflict of interest dapat memperkaya wawasan kita mengenai makna korupsi kalau ia dicantumkan dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Memasukkan conflict of interest ke dalam undang-undang mempunyai keuntungan, yakni pembuktian tindak pidana korupsi yang mengandung unsur (bestanddeel) conflict of interest relative lebih mudah. Kemudahan pembuktian tindak pidana korupsi ini bermanfaat dalam kasus-kasus pengadaan barang dan jasa.
Benturan kepentingan bisa terjadi dalam skema permainan pembelian (purchases schemes) maupun penjualan (sales schemes). Lembaga pemerintah atau bisnis selaku pembeli baik barang maupun jasa ber-KKN dengan penjual. Indikasi mengenai hal ini terlihat dalam hal pembeli merupakan lembaga besar, nilai pembeliannya tinggi, dan penjual merupakan penyuplai terkenal tingkat dunia. Jadi, seharusnya jual beli dapat dilakukan secara langsung dan bukan melalui penjual perantara.
Lembaga pemerintah atau bisnis selaku penjual dapat juga ber-KKN dengan pembeli. Praktik ini sangat mencolok dalam hal pemberli akhir merupakan captive market dari penjual, namun penjual tetap mengeluarkan marketing fee atau sejenisnya, yang tidak lain dari penyuapan.
Dari contoh-contoh di atas kita lihat pertautan antara benturan kepentingan dengan bribery, Illegal gratuities, dan economic extortion.
Bribery atau penyuapan merupakan bagian yang akrab dalam kehidupan berbisnis dan politik di Indonesia. Kasus-kasus tindak pidana korupsi tahun 2008 dan 2009 menunjukkan hal ini. Oleh karena itu, tidak perlu adanya uraian panjang lebar tentang ranting ini.
Kickbacks merupakan salah satu bentuk penyuapan dimana si penjual mengikhlaskan sebagian dari hasil penjualannya. Presentase yang di ikhlaskannya itu bisa diatur di muka, atau diserahkan sepenuhnya kepada keihklasan penjual. Dalam hal terakhir, apabila penerima kickback menganggap bahwa kickbacks yang di terimanya terlalu keci, maka ia akan mengalihkan bisnisnya ke rekanan yang lebih ikhlas.
Illegal gratuities adalah pemberian atau hadiah yang merupakan bentuk terselubung dari penyuapan. Dalam kasus korupsi di Indonesia kita melihat hal ini dalam bentuk hadiah perkawinan, hadiah ulang tahun, hadiah perpisahan, hadiah kenaikan pangkat, dll yang diberikan kepada pejabat.

2.2.2.2   Asset Misappropiation

Asset misappropriation atau “pengambilan” asset secara illegal dalam bahasa sehari hari mencuri. Namun, dalam istilah hukum, “mengambil” asset secara illegal. Yang dilakukan oleh seseorang yang diberi wewenang untuk mengelola atau mengawasi asset tersebut, disebut menggelapkan. Istilah pencurian, dalam fraud tree disebut larcency. Istilah penggelapan dalam bahasa inggris nya adalah embezzlement. Dalam fraud tree ACFE, kelihatannya istilah larcency dipergunakan sebagai sinonim dari emblazement.
Oleh karena ada istilah-istilah hukum yang khas untuk perbuatan “mencuri”, maka untuk menerjemahkan missappropiation, Tuankotta  menggunakan istilah penjarahan. Ini adalah istilah generiknya.
Cabang dan ranting yang menggambarkan fraud yang di beri label “asset missapropiation” ini dapat di lihat di bagian tengah fraud tree.
Hal yang sering menjadi sasaran penjarahan adalah uang. Uang tunai atau uang di bank yang menjadi sasaran, langsung dapat dimanfaatkan oleh pelakunya.
Asset misappropriation dalam bentuk penjarahan cash atau cash misappropriation dilakukan dalam tiga bentuk : skimming, larcency, dan fraudulent disbursement. Klasifikasi penjarahan kas dalam tiga bentuk di sesuaikan degan arus uang masuk.
Dalam skimming, uang di jarah sebelum uang tersebut secara fisik masuk ke perusahaan. Cara ini terlihat dalam fraud yang sangat di kenal auditor, yakni lapping. Kalau uang sudah masuk ke perusahaan dan kemudian baru dijarah, maka fraud ini disebut larcency atau pencurian. Sekali arus uang sudah terekam dalam atau sudah masuk ke sistem, maka penjarahan ini disebut fraudulent disbursement yang lebih dekat dengan istilah penggelapan dalam bahasa Indonesia.
Dari penjelasan di atas kita mengenal satu bentuk lain. Yakni penjarahan atas dana-dana yang tidak masuk ke perusahaan secara fisik atau secara administrative. Dana-dana di himpun dari berbagai sumber, misalnya komisi resmi dari perusahaan asuransi atau kickback dari penyuplai. Dana-dana ini disebut dana taktis. Dalam fraud tree diatas baik pembentukan maupun pengeluaran dari dana taktis ini didefinisikan sebagai corruption bukan asset misapprotiation. Corruption seperti ini mengandung ciri skimming. Dalam praktik yang khas Indonesia, jarahan ini dikerjakan secara bergotong royong dan diketahui secara umumm bahkan di legitimasi dalam bentuk sumber penghasilan Yayasan Kesejahteraan Karyawan.
Larceny atau pencurian adalah bentuk penjarahan yang paling kuno dan dikenal sejak awal peradaban manusia. Peluang untuk terjadinya penjarahan jenis ini berkaitan erat dengan perlindungan keselamatan asset (safeguarging of assets).
Pencurian melalui pengeluaran yang tidak sah (fraudulent disbusrment) sebenarnya satu langkah lebih jauh dari pencurian. Sebelum tahap pencurian, ada tahap perantara. Kembali ke diagram, kita lihat lima kolom (sub ranting) sebagai berikut: billing schemes, payroll schemes, expense reimbursement schemes, check tampering, dan register disbursement. Tahap pernatara dengan menggunakan subranting ini lazimnya dibahas dalam buku-buku auditing.
Skimming merupakan penjarahan sebelum uang secara fisik masuk ke perusahaan. Contoh yang sangat popular adalah praktik gali lubang tutup lubang  dalam penagihan utang (lapping). Contoh lain, piutang dihapus bukukan, namun tetap di tagih dari pelanggan. Hasil tagihan tidak masuk ke perusahaan, dan di jarah oleh si penagih.
Sasaran lain dari penjarahan adalah persediaan barang (inventory). Umumnya daya tarik untuk mencuri kas lebih tinggi dari asset lainnya. Namun, dalam situasi tertentu persediaan barang sangat menarik untuk dijadikan sasaran pencurian. Contoh : penjualan BBM bersubsidi secara illegal pada waktu ada disparatis harga yang tinggi antara BBM bersubsidi dan yang tidak bersubsidi.
Aset lainnya (yang bukan cash atau inventory) juga bisa menjadi sasaran adalah asset tetap, misalnya kendaraan bermotor yang di miliki perusahaan.
Modus peran di dalam penjarahan asset yang bukan uang tunai atau uang di bank adalah misuse dan larceny. Misuse adalah penyalahgunaan, misalnya penggunaan kendaraan bermotor perusahaan atau asset tetap lainnya untuk kepentingan pribadi. Hal ini sangat umum terjadi sehingga sering kali di anggap biasa dan bukan fraud. Contoh : alat transport perusahaan atau lembaga pemerintahan yang di pakai untuk mengangkut barang-barang pribadi atau inventaris kantor atau instansi pemerintah yang di pakai untuk mengangkut barang-barang pribadi atau inventaris kantor atau inventaris pemerintah yang di pinjam selama sesorang memegang jabatan (misuse) dan tidak mengembalikannya sesudah ia tidak lagi menjabat (larceny).

2.2.2.4   Fraudulent Statements

Jenis fraud ini sangat dikenal para auditor yang melakukan general audit (opinion audit). Ranting pertama menggambarkan fraud dalam menyusun laporan keuangan. Fraud ini berupa salah saji (misstatement baik over ataupun under). Cabang dari ranting ini ada dua. Pertama, menyajikan asset atau pendapatan lebih tinggi dari yang sebenarnya. Kedua, menyajikan asset atau pendapatan lebih rendah dari yang sebenarnya.
Praktik-praktik secara ekstensif di bahas dalam buku-buku auditing. Khususnya dalam bentuk yang pertama, yang terlihat banyak dari perusahaan public raksasa di Amerika Serikat, seperti Enron. Ketentuan-ketentuan undang-undang Sarabnes Oxley merupakan reaksi yang keras terhadap praktik-praktik ini.
Bentuk yang kedua lebih banyak berhubungan dengan laporan keuangan yang disampaikan kepada instansi perpajakan atau instansi bead an cukai.
Ranting kedua menggambarkan fraud dalam menyusun laporan non-keuangan. Fraud ini berupa penyampaian laporan non-keuangan secara menyesatkan, lebih bagus dari keadaan yang sebenarnya, dan sering kali merupakan pemalsuan atau pemutarbalikan keadaan. Bisa tercantum dalam dokumen yang dipakai untuk keperluan intern maupun ekstern. Contoh : Perusahaan minyak besar di dunia yang mencantumkan cadangan minyaknya lebih besar secara signifikan dari keadaan yang sebenarnya apabila diukur dengan standar industrinya, atau perusahaan yang alat produksinya atau limbahnya membawa bencana bagi masyarakat, tetapi secara terbuka (misalnya melalui iklan) mengklaim keadaan sebaliknya.

2.2.3    Manfaat Fraud Tree

(Tujuan sub-bab ini adalah mengetahui manfaat occupational fraud yang digambarkan dalam fraud tree)
Fraud tree yang dibuat ACFE sangat bermanfaat. Fraud tree memetakan fraud dalam lingkungan kerja. Peta ini membantu audit forensik mengenali dan mendiagnosis fraud yang terjadi. Ada gejala-gejala “penyakit” fraud yang dalam auditing di kenal dengan red flags. Dengan memahami gejala-gejala ini dan menguasai teknik-teknik audit investigative, akuntan forensik dapat mendeteksi fraud tersebut.
Kita tidak usah mengikuti sepenuhnya fraud tree di atas. Kondisi kita berbeda dengan kondisi di Amerika Serikat. Koruptor kita atau pelaku fraud di Indonesia sering kali lebih kreatif. Juga iklim bisnis dan pemerintah yang koruptif mengharuskan akuntan forensik berpikir mengenai dunia nyatanya, ia harus membumi.
Akuntan forensik seharusnya membuat sendiri fraud tree atau peta dari tindak pidana perpajakan, misalnya, perlu membuat Pohon Tindak Pidana Perpajakan yang khusus untuk pajak tertentu, untuk jenis transaksi tertentu atau tindak pidana perpajakan dalam industry tertentu misalnya pertambangan, production sharing contractors (psc).
Akuntan forensik yang memeriksa tindak pidana korupsi perlu Membuat Pohon Tindak Pidana Korupsi. Pohon Tindak Pidana Korupsi  yang komprehensif  yang meliputi ke-30 jenis tindal pidana korupsi akan sangat sulit penyajiannya. Lebih mudah, dan lebih bermanfaat, menyusun Pohon Tindak Pidana Korupsi yang parsial, misalnya tentang tujuh kelompok tindak pidana korupsi.

2.2.3.1   Fraud Triangle

Fraud examiners Manual (edisi 2006) menyebut Donald R. Cressey sebagai mahasiswa terpandainya Edwin H. Sutherland. Jika penelitian Sutherland dipusatkan kepada kriminalitas masyarakat atas, Cressey mencari arah yang lain dalam penelitiannya. Sewaktu menulis disertasi doktornya dalam bidang sosiologi, ia memutuskan untuk meneliti pegawai yang mencuri uang para pegawai yang mencuri suatu perusahaan. Ia mewawancarai 200 yang di penjara karena kasus tersebut.
Cressey tertartik pada emblezzers yang disebutnya “trust violators” atau “pelanggar kepercayaan”, yakni mereka yang melanggar kepercayaan atau amanah yang di titipkan kepada mereka. Ia secara khusus tertarik kepada hal-hal yang menyebabkan mereka menyerah kepada godaan. Oleh karena alas an itu dalam penelitiannya, ia tidak menyertakan mereka yang memang mencari pekerjaan dengan tujuan mencuri. Setelah meyelesaikan penelitiannya, ia mengembangkan suatu model yang sampai sekarang merupakan model klasik untuk menjelaskan occupational offender atau pelaku fraud di tempat kerja. Penelitiaanya di terbitkan dengan judul Other People’s Money.
Dalam perkembangan selanjutnya hipotesis ini lebih dikenal sebagai fraud triangle atau segitiga fraud, seperti terlihat dalam gambar di bawah

 
Sudut pertama dari segi tiga  itu di beri judul pressure yang merupakan perceived non shareable financial need. Sudut keduanya, perceived opportunity. Sudut ketiganya,  rationalization. Ketiga konsep ini dibahas di bawah.

1.        Pressure
 Penggelapan uang perusahaan oleh pelakunya bermula dari suatu tekanan yang menghimpitnya. Orang ini mempunyai kebutuhan keuangan yang mendesak, yang tidak dapat diceritakannya keoada orang lain. Konsep yang penting disini adalah, tekanan yang menghimpit hidupnya, pdahal ia tidak bisa berbagi dengan yang lain. Konsep ini dalam bahasa Inggris disebut perceived non-shareable financial need.
Cressey  menemukan bahwa non-shareable problems yang di hadapi orang-orang yang di wawamcarainya timbul dari situasi yang dapat di bagi dalam enam kelompok :
a.    Violation  of  Ascribed Obligation : Berhubungan dengan suatu kedudukan atau jabatan dengan tanggung jawab keuangan, membawa konsekuensi tertentu bagi yang bersangkutan dan juga menjadi harapan atasan atau majikannya.
b.    Problems Resulting from Personal Failure : Kegagalan pribadi juga merupakan situasi yang dipersepsikan oleh orang yang mempunyai kedudukan serta dipercaya dalam bidang keuangan, sebagai kesalahannya menggunakan akal sehatnya, dan karena itu menjadi tanggung jawabnya.
c.    Business Reversals : Berbeda dengan kegagalan pribadi sebagai yang tertera dia atas. Pelaku disini merasa bahwa kegagalan itu berada di luar dirinya atau diluar kendalinya, contohnya karena inflasi yang tinggi, atau krisis ekonomi/moneter, tingkat bung yang tinggi atau dll.
d.   Physical Isolation : Keterpurukan dalam ketersendirian, orang itu bukan tidak mau berbagi keluhan dengan orang lain, ia tidak mempunyai orang lain tempat ia berkeluh kesah dan mengungkapkan masalahnya.
e.    Status Gaining : Situasi dari kebiasaan yang buruk, tidak mau kalah dari tetangga.
f.     Employer-Employee Relation : kekesalan seorang pegawai yang menduduki jabatan yang dipegangnya sekarang, tetapi pada saat yang sama ia merasa tidak ada pilihan baginya, yakni ia harus menjalankan apa yang dikerjakannya sekarang.
Keenam kelompok situasi yang disebutkan Cressey pada dasarnya berkaitan dengan upaya memperoleh status lebih tinggi atau mempertahankan status yang sekarang dipunyai. Dengan lain perkataan, non-shareable problems mengancam status orang itu, atau merupakan ancaman baginya untuk meningkat ke status yang lebih tinggi dari statusnya pada saat pelanggaran terjadi.

2.        Perceived Opportunity
Ada non-shareable financial problem saja, tidaklah akan menyebabkan orang melakukan fraud. Untuk memahami teori Cressey kita harus ingat bahwa ketiga  unsur dalam fraud triangle harus ada, untuk bisa terjadi fraud. Non-shareable financial problem menciptakan motif bagi terjadinya kejahatan. Akan tetapi, pelaku kejahatan harus mempunyai persepsi bahwa ada peluang baginya untuk melakukan kejahatan tanpa di ketahui orang lain.
Cressey berpendapat, ada dua komponen dari persepsi dari peluang ini. Pertama, general information, yang merupakan pengetahuan bahwa kedudukan yang mengandung trust atau kepercayaan, dapat dilanggar tanpa konsekuensi. Pengetahuan ini diperoleh dari apa yang ia lihat atau dengar, misalnya dari pengalaman orang lain yang melakukan fraud yang tidk ketahuan atau tidak dihukum atau tidak terkena sanksi. Kedua, technical skill atau keahlian/ keterampilan yang butuhkan untuk melaksanakan kejahatan tersebut. Ini biasanya keahlian atau keterampilan yang dipunyai orang itu dan yang menybabkan ia yang mendapat kedudukan tersebut. Orang yang dipercyakan untuk mengisi cek yang akan ditandatangani atasannya, membuat fraud yang berkaitan dengan pengisian cek. Petugas yang menangani rekening di bank, mencuri dari nasabah yang jarang bertransaksi, pemasar menggelapkan uang muka, dll. Mereka yang mempunyai posisi dengan kepercayaan di bidang keuangan, ketika menghadapi non-shareable financial problems, akan melihat general information dan technical skills sebagai jalan keluar dari masalah itu. Posisi mereka yang mendapat kepercayaan atau trust, khusunya di bidang keuangan, memungkinkan mereka memanfaatkan general information dan technical skills yang mereka miliki.

3.        Rationalization
Rationalization adalah mencari pembenaran sebelum melakukan kejahatan, bukan sesudahnya. Mencari pembenaran sebenarnya merupakan bagian yang harus ada dari kejahatan itu sendiri bahkan merupakan bagian dari motivasi untuk melakukan kejahatan. Rationalization diperlukan agar si pelaku dapat mencerna perilakunya yang melawan hukum untuk tetap mempertahankan jati dirinya sebagai orang yang di percaya.
Model klasiknya Cressey mampu menjelaskan terjadinya berbagai fraud yang berkenaan dengan kedudukan atau jabatan, tetapi tentunya tidak semuanya. Para ilmuwan mengetes model Cressey ini, namun mereka belum berhasil mengembangkan aplikasi praktisnya, misalnya dalam menciptakan program pencegahan fraud. Satu model tentunya tidak bisa menjawab seluruh bentuk fraud. Di tambah lagi dengan kenyataan bahwa kajian itu hamper setengah abad. Sesudah itu banyak terjadi perubahan social. Sekarang, banyak professional di bidang pencegahan fraud berpendapat bahwa telah lahir generasi pelaku fraud yang baru, suatu generasi yang hati nuraninya tidak sanggup melwan godaan.

2.2.4    Mencegah Fraud

(Tujuan sub-bab ini adalah para pembaca dapat mengaplikasikan pencegahan fraud)
Pencegahan Fraud dilakukan dengan menggunakan sistem pengedalian internal. Ada pun pengertian pengendalian internal menurut beberapa para ahli:
1.        Sebelum September 1992: Adalah, kondisi yang diinginkan, atau merupakan hasil, dari berbagai proses yang dilaksanakan suatu entitas untuk mencegah dan menimbulkan efek jera terhadap fraud.
2.        Menurut COSO ( The Comitte of Sponsoring Organization of the Treadway Comission): Suatu proses, yang dirancang dan dilaksanakan oleh dewan, manajemen, dan pegawai untuk memberikan kepastian yang memadai dalam mencapai kegiatan usaha yang efektif  dan efisien, keandalan laporan keuangan, dan kepatuhan terhadap undang-undang dan peraturan lainnya yang relevan.
3.        AICPA 1988: Untuk tujuan audit saldo laporan keuangan struktur pengendalian intern suatu entitas terdiri atas tiga unsur: lingkungan pengendalian, system akuntansi, dan prosedur-prosedur pengendalian.
4.        Khusus untuk Mencegah Fraud:  Suatu sistem dengan proses dan prosedur yang bertujuan khusus, di rancang dan dilaksanakan untuk tujuan utama, kalau bukan satu-satunya tujuan, untuk mencegah dan menghalangi (dengan membuat jera) terjadinya fraud.
Inilah yang akan dipakai dalam pembahasan berikut, definisi dari pengendalian intern yang secara khusus atau spesifik ditujukan untuk menangani fraud atau fraud-specific internal control.
Semua pengendalian dapat di golongkan dalam pengendalian aktif dan pengendalian intern pasif. Kata kunci untuk pengendalian intern aktif adalah to prevent, mencegah. Kata kunci untuk pengendalian pasif adalah to deter, mencegah karena konsukuensinya terlalu besar, membuat jera. Kalau PBB atau Lembaga Pengawasan Atom dunia mengunjungi Negara-negara nuklir untuk inspeksi instalasi nuklir mereka, ini adalah pengawasan aktif, akan tetapi dua adikuasa yang berlomba-lomba membuat senjata nuklir ukuran besar di zaman perang dingin, tidak bermaksud menggunakan senjata itu. Senjata ini adalah untuk mendeter lawan menggunakannya, konsekuensinya terlalu besar.

2.2.4.1 Pengendalian Internal Aktif

Pengendalian intern aktif biasanya merupakan bentuk pengendalian intern yang paling banyak diterapkan. Ia seperti pagar-pagar yang menghalangi pencuri masuk ke halaman rumah orang. Pagar-pagar ini membatasi, menghalangi, dan menutup akses si calon pelaku fraud.
Sarana-sarana pengendalian intern aktif  yang sering di pakai dan umumnya sudah dikenal dalam system akuntansi, meliputi :
1.        Tanda tangan
2.        Tanda tangan kaunter : Pembubuhan tanda tangan lebih dari satu
3.        Password dan PIN
4.        Pemisahan tugas
5.        Pengendalian asset secara fisik
6.        Pengendalian asset secara fisik
7.        Pagar, gembok, dan semua bangunan penghalang fisik
8.        Pencocokan dokumen
9.        Formulir yang sudah di cetak nomornya

2.2.4.2   Pengendalian Internal Pasif

Contoh pengendalian pasif, adalah dihilangkannya pintu berputar (turnstile) pada jalur tertentu dari kereta api bawah tanah (dalam hal ini, Metro Red Line) di Los Angeles. Tiket bisa di beli mesin-mesin semacam mesin ATM dengan harga US $ 1,10. Di dalam kereta ada pemeriksa tiket yang melakukan tugasnya secara random. Penumpang yang tidak bisa menunjukan tiket, akan di denda US$ 250.
Penumpang tidak usah menunjukkan tiket waktu memasuki stasiun kereta, tidak ada pintu berputar menghalanginya. Kalau penumpang mau “ngemplang”, hukumannya sangat berat. Kritikan dari kalangan tertentu, menyatakan bahwa untuk setiap 100 penumpang, 99 tidak bayar tiket. Sehingga perusahaan dirugikan sebesar US$108,90. Mereka lupa, bahwa satu saja orang yang tertangkap tangan, harus membayar denda US$ 250.
Dari contoh di atas kita mencatat dua perbedaan antara pengendalian intern aktif dan pengendalian intern pasif. Pertama dalam hal biaya, pengendalian intern aktif jauh lebih mahal di banding pengendalian pasif.  Kedua, pengendalian intern aktif kassat mata atau dapat diduga dan dapat di tembus. Pengendalian intern pasif, di lain pihak, tidak kasat mata dan tidak dapat diduga. Beberapa bentuk lain dari pengendalian intern pasif  meliputi :
Pengendalian yang khas untuk yang dihadapi, merupakan hasil dari berfikir positif, ketika pengendalian intern aktif tidak memberikan pemecahan.
Jejak audit, Sistem yang di komputerisasi sering kali menggunakan pengendalian intern oasif, karena ada jejak-jejak mutasi atau perubahan dalam catatan, yang terekam dalam system.
Dalam pengendalian pasif, dari permukaan kelihatan tidak ada pengamanan, namun ada peredam yang membuat pelanggar atau pelaku fraud akan jera. Peredam ini diumumkan secara luas, dan sistemnya memastikan hal ini.
Manfaat dari pengendalian internal pasif adalah :
1.    Tidak mahal
2.    Tidak bergantung pada manusia, tidak people dependent. Oleh karena itu, pengendalian intern pasif kebal kepada kelemahan manusia, seperti lengah, korupsi, teledor dan lain-lain.
3.    Tidak memengaruhi produktivitas, tidak memperlambat pelayanan
4.    Tidak rawan untuk di tembus atau disusupi pelaku fraud.

2.2.5    Mendeteksi Fraud

(Tujuan sub-bab ini adalah mengaplikasikan cata mendetekasi fraud.)
Perbedaan antara audit dan fraud examination:
Issue
Auditing
Fraud Examination
Timing
Recurring
Audit dilakukan secara teratur, berkala, dan berulang kembali (recurring).
Non-recurring
Pemeriksaan fraud tidak berulang kembali, dilakukan setelah ada cukup indikasi.
Scope
General
Lingkup audit adalah pemeriksaan umum atas data keuangan
Specific
Pemeriksaan fraud diarahkan pada dugaan, tuduhan atau sangkaan yang spesifik.
Objective
Opinion
Tujuan audit adalah untuk memberikan pendapat atas kewajaran laporan keuangan
Affix Blame
Tujuan pemeriksaan fraud adalah untuk memastikan apakah fraud memang terjadi, dan untuk menentukan siapa yang bertanggung jawab.
Relationship
Non-adversarial
Sifat pekerjaan audit adalah tidak bermusuhan.
Adversial
Karena pada akhirnya pemeriksa harus menentukan siapa yang bersalah, sifat pemeriksaan fraud adalah bermusuhan.
Methodologi
Audit Techniques
Audit dilakukan terutama dengan pemeriksaan data keuangan.
Fraud Examination Techniques
Pemeriksaan fraud dilakukan dengan memeriksa dokumen, telaah data ekstern, dan wawancara.
Presumption
Profesional Skepticism
Auditor melaksanakan tugasnya dengan professional skepticism
Proof
Pemeriksa fraud berupaya mengumpulkan bukti untuk mendukung atau membantah dugaan, tuduhan atau sangkaan terjadinya fraud.

2.2.5.1 Pelajaran dari Report to the Nation

Laporan ini memberikan banyak petunjuk untuk mencegah maupun mendeteksi fraud. Beberapa pelajaran dari laporan tersebut, mengenai deteksi fraud.
1.    Rata-rata (median) berlangsungnya fraud sebelum di deteksi adalah lebih dari satu tahun, yakni antara 17 sampai 30 bulan
2.    Bagaimana fraud terungkap ? Hampir separuhnya
di ketahui karena ada yang membocorkan (tip). Sedangkan seluruh fraud terungkap secara kebetulan, jadi bukan oleh fraud examiner, internal auditor, maupun external auditor.
3.    Bahkan kalau fraud dilakukan oleh majikan atau pemilik, lebih dari separuhnya terungkap karena tip. Bocoran tip datang dari karyawan.
Data di atas adalah untuk Amerika Serikat. Di Indonesia belum ada penelitian berkala nasional mengenai pengungkapan fraud. Akan tetapi, kalau temuan dalam Report to the Nation dapat menjadi petunjuk, kita mempunyai berita baik dan berita buruk.
Berita baiknya ialah bahwa dengan design system yang tepat, ada peluang dan insentif untuk terjadinya pembocoran mengenai fraud yang sudah, sedang, atau akan terjadi. Pentingnya hal ini terlihat dalam teknik audit investigative “Wishtle Blower”.
Berita buruknya adalah di Negara maju seperti Amerika serikat saja di butuhkan lebih dari satu tahun sampai hamper tiga tahun untuk mendeteksi fraud. Berita buruknya adalah bahwa fraud terdeteksi secara “kebetulan”.

2.2.5.2 Teknik Pemeriksaan Fraud

Ada bermacam-macam teknik audit investigative untuk mengungkap fraud, yaitu :
  1. Penggunaan teknik-teknik audit yang dilakukan oleh internal maupun eksternal auditor dalam mengaudit laporan keuangan,
  2.  Pemanfaatan teknik audit investigative dalam kejahatan terorganisir dan penyelundupan pajak penghasilan, yang juga dapat  diterapkan terhadap data kekayaan pejabat Negara.
  3. Penulusuran jejak-jejak arus uang
  4. Penerapan teknik analisis dalam bidang hukum.
  5. Penggunaan teknik audit investigative untuk mengungkap fraud dalam pengadaan barang
  6.  Penggunaan computer forensics
  7.  Penggunaan operasi penyamaran
  8.  Pemanfaatan wishtleblower

Downlad Full File with Source and picture (Akuntansi Forensik, Audit Kecurangan, Audit Investigatif, dan Audit Berbasis Risiko) here

Downlad Power Point (Akuntansi Forensik, Audit Kecurangan, Audit Investigatif, dan Audit Berbasis Risiko) here

Credit : Shein Shein
Please take full credit for taking out

No comments:

Post a Comment

Comment = respect = encourage ^^
Thank you ♥♥♥♥♥