2.2.1 Pengertian Fraud
(Tujuan sub-bab
ini adalah memahami pengertian fraud)
Kecurangan
adalah salah saji laporan keuangan yang disengaja. Ada juga istilah lain yang
sering kali dipergunakan untuk menggambarkan suatu jenis fraud, yakni kejahatan
kerah putih atau white-collar crime
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) misalnya,
menyebutkan beberapa pasal yang mencakup pengertian fraud seperti :
1. Pasal
362 tentang pencurian (definisi KUHP) : “mengambil barang sesuatu, yang
seluruhanya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki
secara melawan hukum”)
2. Pasal
368 tentang pemerasan dan pengancaman (definisi KUHP: “dengan maksud untuk
menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum memaksa
seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barnag
sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang
lain, atau supaya membuat hukum atau menghapuskan piutang)
3. Pasal
372 tentang penggelapan (definisi KUHP: “dengan sengaja dan melawan hukum
memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang
lain, tetapi yang ada di dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan”)
4. Pasal
378 tentang Perbuatan curang (definisi KUHP: “dengan maksud untuk menguntungkan
diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu
atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan,
menggerakan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya
memberikan hutang maupun menghapuskan piutang”)
5. Pasal
396 tentang Merugikan pemberi piutang dalam keadaan pailit.
6. Pasal
406 tentang menghancurkan atau merusakkan barang (definisi KUHP:”dengan sengaja
atau melawan hukum menghancurkan, merusakkan, membikin tak dapat di pakai atau
menghilangkan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain.
7. Pasal
209, 210, 387, 388,415, 417, 418, 419, 420, 423, 425, dan 435 yang secara
khusus diatur dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(Undang-undang nomor 31 tahun 1999)
2.2.2 Fraud Tree (Pohon fraud)
(Tujuan sub-bab
ini adalah memahami occupaational fraud)
Secara skematis,
Association of certified Fraud Examiners (ACFE) menggambarkan occupational
fraud dalam bentuk fraud tree. Fraud ini menggambarkan cabang-cabang dari fraud
dalam hubungan kerja, beserta ranting dan anak rantingnya.
2.2.2.1 Corruption
Cabang dan ranting yang
menggambarkan fraud, serupa tetapi tidak sama dengan istilah korupsi dalam
ketentuan perundang-undangan kita. Conflict
of interest atau benturan kepentingan sering kita jumpai dalam berbagai
bentuk, diantaranya bisnis pelat merah atau bisnis penjabat (penguasa) dan
keluarga serta kroni mereka yang menjadi pemasok atau rekanan di
lembaga-lembaga pemerintah dan di dunia bisnis sekalipun. Ciri-ciri atau
indikasinya, mereka menjadi pemasok:
1. Selama
bertahun-tahun. Bukan saja selama pejabat tersebut berkuasa. Melalui kontrak
jangka panjang, bisnis berjalan terus meskipun pejabat tersebut sudah lengser.
2. Nilai
kontrak-kontrak itu relative mahal ketimbang kontrak yang di buat at arms
length. Dalam bahasa sehari-hari praktik ini di kenal sebagai mark up atau
penggelumbungan. Istilah mark up sendiri sebenarnya kurang tepat, karena baik
mark up maupun mark down merupakan bagian dari praktik bisnis yang sehat.
3. Para
rekanan ini, meskipun hanya segelintir, menguasai pangsa pembelian yang
relative sangat besar di lembaga tersebut.
4. Meskipun
rekanan ini keluar sebagai “pemenang” dalam proses tender resmi, namun
kemenangannya dicapai dengan cara-cara tidak wajar.
5. Hubungan
antara penjual dan pembeli lebih dari hubungan bisnis. Pejabat atau penguasa
bisa menggunakan sanak saudaranya (nepotisme) sebagai orang depan atau ada
persekongkolan (kolusi) yang melibatkan penyuapan (bribery).
Bisnis yang mengandung benturan kepentingan sering
disamarkan dengan kegiatan sosial-keagamaan dan muncul dalam bentuk
yayasan-yayasan.
Konsep conflict
of interest digunakan dalam konvensi PBB mengenai pemberantasan korupsi
(Uniteds Nations Convention Againts Corruption). Indonesia meratifikasi
konvensi ini. “Pengertian, definisi, atau konsep conflict of interest dapat
memperkaya wawasan kita mengenai makna korupsi kalau ia dicantumkan dalam
undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Memasukkan conflict
of interest ke dalam undang-undang mempunyai keuntungan, yakni pembuktian
tindak pidana korupsi yang mengandung unsur (bestanddeel) conflict of interest
relative lebih mudah. Kemudahan pembuktian tindak pidana korupsi ini bermanfaat
dalam kasus-kasus pengadaan barang dan jasa.
Benturan kepentingan bisa terjadi dalam skema
permainan pembelian (purchases schemes)
maupun penjualan (sales schemes).
Lembaga pemerintah atau bisnis selaku pembeli baik barang maupun jasa ber-KKN
dengan penjual. Indikasi mengenai hal ini terlihat dalam hal pembeli merupakan
lembaga besar, nilai pembeliannya tinggi, dan penjual merupakan penyuplai
terkenal tingkat dunia. Jadi, seharusnya jual beli dapat dilakukan secara
langsung dan bukan melalui penjual perantara.
Lembaga pemerintah atau bisnis selaku penjual dapat
juga ber-KKN dengan pembeli. Praktik ini sangat mencolok dalam hal pemberli
akhir merupakan captive market dari penjual, namun penjual tetap mengeluarkan
marketing fee atau sejenisnya, yang tidak lain dari penyuapan.
Dari contoh-contoh di atas kita lihat pertautan
antara benturan kepentingan dengan bribery,
Illegal gratuities, dan economic extortion.
Bribery
atau penyuapan merupakan bagian yang akrab dalam kehidupan berbisnis dan
politik di Indonesia. Kasus-kasus tindak pidana korupsi tahun 2008 dan 2009
menunjukkan hal ini. Oleh karena itu, tidak perlu adanya uraian panjang lebar
tentang ranting ini.
Kickbacks
merupakan salah satu bentuk penyuapan dimana si penjual mengikhlaskan sebagian
dari hasil penjualannya. Presentase yang di ikhlaskannya itu bisa diatur di
muka, atau diserahkan sepenuhnya kepada keihklasan penjual. Dalam hal terakhir,
apabila penerima kickback menganggap
bahwa kickbacks yang di terimanya terlalu keci, maka ia akan mengalihkan
bisnisnya ke rekanan yang lebih ikhlas.
Illegal
gratuities adalah pemberian atau hadiah yang merupakan bentuk
terselubung dari penyuapan. Dalam kasus korupsi di Indonesia kita melihat hal
ini dalam bentuk hadiah perkawinan, hadiah ulang tahun, hadiah perpisahan,
hadiah kenaikan pangkat, dll yang diberikan kepada pejabat.
2.2.2.2 Asset Misappropiation
Asset
misappropriation atau “pengambilan” asset secara illegal dalam bahasa sehari
hari mencuri. Namun, dalam istilah hukum, “mengambil” asset secara illegal.
Yang dilakukan oleh seseorang yang diberi wewenang untuk mengelola atau
mengawasi asset tersebut, disebut menggelapkan. Istilah pencurian, dalam fraud
tree disebut larcency. Istilah penggelapan dalam bahasa inggris nya adalah
embezzlement. Dalam fraud tree ACFE, kelihatannya istilah larcency dipergunakan
sebagai sinonim dari emblazement.
Oleh karena ada istilah-istilah hukum yang khas
untuk perbuatan “mencuri”, maka untuk menerjemahkan missappropiation,
Tuankotta menggunakan istilah
penjarahan. Ini adalah istilah generiknya.
Cabang dan ranting yang menggambarkan fraud yang di
beri label “asset missapropiation”
ini dapat di lihat di bagian tengah fraud tree.
Hal yang sering menjadi sasaran penjarahan adalah
uang. Uang tunai atau uang di bank yang menjadi sasaran, langsung dapat
dimanfaatkan oleh pelakunya.
Asset misappropriation dalam bentuk penjarahan cash atau cash misappropriation dilakukan dalam tiga bentuk : skimming, larcency, dan fraudulent disbursement.
Klasifikasi penjarahan kas dalam tiga bentuk di sesuaikan degan arus uang
masuk.
Dalam skimming,
uang di jarah sebelum uang tersebut secara fisik masuk ke perusahaan. Cara ini
terlihat dalam fraud yang sangat di kenal auditor, yakni lapping. Kalau uang sudah masuk ke perusahaan dan kemudian baru dijarah,
maka fraud ini disebut larcency atau
pencurian. Sekali arus uang sudah terekam dalam atau sudah masuk ke sistem,
maka penjarahan ini disebut fraudulent
disbursement yang lebih dekat dengan istilah penggelapan dalam bahasa
Indonesia.
Dari penjelasan di atas kita mengenal satu bentuk
lain. Yakni penjarahan atas dana-dana yang tidak masuk ke perusahaan secara
fisik atau secara administrative.
Dana-dana di himpun dari berbagai sumber, misalnya komisi resmi dari perusahaan
asuransi atau kickback dari
penyuplai. Dana-dana ini disebut dana taktis.
Dalam fraud tree diatas baik pembentukan maupun pengeluaran dari dana taktis
ini didefinisikan sebagai corruption bukan asset misapprotiation. Corruption
seperti ini mengandung ciri skimming. Dalam praktik yang khas Indonesia,
jarahan ini dikerjakan secara bergotong royong dan diketahui secara umumm
bahkan di legitimasi dalam bentuk sumber penghasilan Yayasan Kesejahteraan
Karyawan.
Larceny
atau pencurian adalah bentuk penjarahan yang paling kuno dan dikenal sejak awal
peradaban manusia. Peluang untuk terjadinya penjarahan jenis ini berkaitan erat
dengan perlindungan keselamatan asset (safeguarging
of assets).
Pencurian melalui pengeluaran yang tidak sah (fraudulent disbusrment) sebenarnya satu
langkah lebih jauh dari pencurian. Sebelum tahap pencurian, ada tahap
perantara. Kembali ke diagram, kita lihat lima kolom (sub ranting) sebagai
berikut: billing schemes, payroll schemes, expense reimbursement schemes, check
tampering, dan register disbursement.
Tahap pernatara dengan menggunakan subranting ini lazimnya dibahas dalam
buku-buku auditing.
Skimming merupakan
penjarahan sebelum uang secara fisik masuk ke perusahaan. Contoh yang sangat
popular adalah praktik gali lubang tutup lubang
dalam penagihan utang (lapping).
Contoh lain, piutang dihapus bukukan, namun tetap di tagih dari pelanggan.
Hasil tagihan tidak masuk ke perusahaan, dan di jarah oleh si penagih.
Sasaran lain dari penjarahan adalah persediaan
barang (inventory). Umumnya daya
tarik untuk mencuri kas lebih tinggi dari asset lainnya. Namun, dalam situasi
tertentu persediaan barang sangat menarik untuk dijadikan sasaran pencurian.
Contoh : penjualan BBM bersubsidi secara illegal pada waktu ada disparatis
harga yang tinggi antara BBM bersubsidi dan yang tidak bersubsidi.
Aset lainnya (yang bukan cash atau inventory) juga
bisa menjadi sasaran adalah asset tetap, misalnya kendaraan bermotor yang di
miliki perusahaan.
Modus peran di dalam penjarahan asset yang bukan
uang tunai atau uang di bank adalah misuse
dan larceny. Misuse adalah penyalahgunaan, misalnya penggunaan kendaraan
bermotor perusahaan atau asset tetap lainnya untuk kepentingan pribadi. Hal ini
sangat umum terjadi sehingga sering kali di anggap biasa dan bukan fraud.
Contoh : alat transport perusahaan atau lembaga pemerintahan yang di pakai
untuk mengangkut barang-barang pribadi atau inventaris kantor atau instansi
pemerintah yang di pakai untuk mengangkut barang-barang pribadi atau inventaris
kantor atau inventaris pemerintah yang di pinjam selama sesorang memegang
jabatan (misuse) dan tidak
mengembalikannya sesudah ia tidak lagi menjabat (larceny).
2.2.2.4 Fraudulent Statements
Jenis fraud ini
sangat dikenal para auditor yang melakukan general audit (opinion audit). Ranting pertama menggambarkan fraud dalam menyusun
laporan keuangan. Fraud ini berupa salah saji (misstatement baik over ataupun under). Cabang dari ranting ini ada
dua. Pertama, menyajikan asset atau pendapatan lebih tinggi dari yang
sebenarnya. Kedua, menyajikan asset atau pendapatan lebih rendah dari yang
sebenarnya.
Praktik-praktik secara ekstensif di bahas dalam
buku-buku auditing. Khususnya dalam bentuk yang pertama, yang terlihat banyak
dari perusahaan public raksasa di Amerika Serikat, seperti Enron.
Ketentuan-ketentuan undang-undang Sarabnes Oxley merupakan reaksi yang keras
terhadap praktik-praktik ini.
Bentuk yang kedua lebih banyak berhubungan dengan
laporan keuangan yang disampaikan kepada instansi perpajakan atau instansi bead
an cukai.
Ranting kedua menggambarkan fraud dalam menyusun
laporan non-keuangan. Fraud ini berupa penyampaian laporan non-keuangan secara
menyesatkan, lebih bagus dari keadaan yang sebenarnya, dan sering kali
merupakan pemalsuan atau pemutarbalikan keadaan. Bisa tercantum dalam dokumen
yang dipakai untuk keperluan intern maupun ekstern. Contoh : Perusahaan minyak
besar di dunia yang mencantumkan cadangan minyaknya lebih besar secara
signifikan dari keadaan yang sebenarnya apabila diukur dengan standar
industrinya, atau perusahaan yang alat produksinya atau limbahnya membawa
bencana bagi masyarakat, tetapi secara terbuka (misalnya melalui iklan)
mengklaim keadaan sebaliknya.
2.2.3 Manfaat Fraud Tree
(Tujuan sub-bab
ini adalah mengetahui manfaat occupational fraud yang digambarkan dalam fraud
tree)
Fraud tree yang
dibuat ACFE sangat bermanfaat. Fraud tree memetakan fraud dalam lingkungan
kerja. Peta ini membantu audit forensik mengenali dan mendiagnosis fraud yang
terjadi. Ada gejala-gejala “penyakit” fraud yang dalam auditing di kenal dengan
red flags. Dengan memahami
gejala-gejala ini dan menguasai teknik-teknik audit investigative, akuntan forensik dapat mendeteksi fraud
tersebut.
Kita tidak usah mengikuti sepenuhnya fraud tree di
atas. Kondisi kita berbeda dengan kondisi di Amerika Serikat. Koruptor kita
atau pelaku fraud di Indonesia sering kali lebih kreatif. Juga iklim bisnis dan
pemerintah yang koruptif mengharuskan akuntan forensik berpikir mengenai dunia
nyatanya, ia harus membumi.
Akuntan forensik seharusnya membuat sendiri fraud
tree atau peta dari tindak pidana perpajakan, misalnya, perlu membuat Pohon
Tindak Pidana Perpajakan yang khusus untuk pajak tertentu, untuk jenis
transaksi tertentu atau tindak pidana perpajakan dalam industry tertentu misalnya
pertambangan, production sharing contractors (psc).
Akuntan forensik yang memeriksa tindak pidana
korupsi perlu Membuat Pohon Tindak Pidana Korupsi. Pohon Tindak Pidana
Korupsi yang komprehensif yang meliputi ke-30 jenis tindal pidana
korupsi akan sangat sulit penyajiannya. Lebih mudah, dan lebih bermanfaat,
menyusun Pohon Tindak Pidana Korupsi yang parsial, misalnya tentang tujuh
kelompok tindak pidana korupsi.
2.2.3.1 Fraud Triangle
Fraud examiners
Manual (edisi 2006) menyebut Donald R. Cressey sebagai mahasiswa terpandainya
Edwin H. Sutherland. Jika penelitian Sutherland dipusatkan kepada kriminalitas
masyarakat atas, Cressey mencari arah yang lain dalam penelitiannya. Sewaktu
menulis disertasi doktornya dalam bidang sosiologi, ia memutuskan untuk
meneliti pegawai yang mencuri uang para pegawai yang mencuri suatu perusahaan.
Ia mewawancarai 200 yang di penjara karena kasus tersebut.
Cressey tertartik pada emblezzers yang disebutnya
“trust violators” atau “pelanggar kepercayaan”, yakni mereka yang melanggar
kepercayaan atau amanah yang di titipkan kepada mereka. Ia secara khusus
tertarik kepada hal-hal yang menyebabkan mereka menyerah kepada godaan. Oleh
karena alas an itu dalam penelitiannya, ia tidak menyertakan mereka yang memang
mencari pekerjaan dengan tujuan mencuri. Setelah meyelesaikan penelitiannya, ia
mengembangkan suatu model yang sampai sekarang merupakan model klasik untuk
menjelaskan occupational offender
atau pelaku fraud di tempat kerja. Penelitiaanya di terbitkan dengan judul
Other People’s Money.
Dalam perkembangan selanjutnya hipotesis ini lebih
dikenal sebagai fraud triangle atau segitiga fraud, seperti terlihat dalam
gambar di bawah
Sudut pertama dari segi tiga itu di beri judul pressure yang merupakan
perceived non shareable financial need. Sudut keduanya, perceived opportunity.
Sudut ketiganya, rationalization. Ketiga
konsep ini dibahas di bawah.
1.
Pressure
Penggelapan uang perusahaan oleh pelakunya
bermula dari suatu tekanan yang menghimpitnya. Orang ini mempunyai kebutuhan
keuangan yang mendesak, yang tidak dapat diceritakannya keoada orang lain.
Konsep yang penting disini adalah, tekanan yang menghimpit hidupnya, pdahal ia
tidak bisa berbagi dengan yang lain. Konsep ini dalam bahasa Inggris disebut
perceived non-shareable financial need.
Cressey menemukan bahwa non-shareable problems yang di hadapi orang-orang yang di
wawamcarainya timbul dari situasi yang dapat di bagi dalam enam kelompok :
a. Violation of
Ascribed Obligation : Berhubungan dengan suatu
kedudukan atau jabatan dengan tanggung jawab keuangan, membawa konsekuensi
tertentu bagi yang bersangkutan dan juga menjadi harapan atasan atau
majikannya.
b. Problems Resulting from Personal
Failure : Kegagalan pribadi juga merupakan situasi yang
dipersepsikan oleh orang yang mempunyai kedudukan serta dipercaya dalam bidang
keuangan, sebagai kesalahannya menggunakan akal sehatnya, dan karena itu
menjadi tanggung jawabnya.
c. Business Reversals
: Berbeda dengan kegagalan pribadi sebagai yang tertera dia atas. Pelaku disini
merasa bahwa kegagalan itu berada di luar dirinya atau diluar kendalinya,
contohnya karena inflasi yang tinggi, atau krisis ekonomi/moneter, tingkat bung
yang tinggi atau dll.
d. Physical Isolation
: Keterpurukan dalam ketersendirian, orang itu bukan tidak mau berbagi keluhan
dengan orang lain, ia tidak mempunyai orang lain tempat ia berkeluh kesah dan
mengungkapkan masalahnya.
e. Status Gaining
: Situasi dari kebiasaan yang buruk, tidak mau kalah dari tetangga.
f. Employer-Employee Relation
: kekesalan seorang pegawai yang menduduki jabatan yang dipegangnya sekarang,
tetapi pada saat yang sama ia merasa tidak ada pilihan baginya, yakni ia harus
menjalankan apa yang dikerjakannya sekarang.
Keenam kelompok situasi
yang disebutkan Cressey pada dasarnya berkaitan dengan upaya memperoleh status
lebih tinggi atau mempertahankan status yang sekarang dipunyai. Dengan lain
perkataan, non-shareable problems mengancam status orang itu, atau merupakan
ancaman baginya untuk meningkat ke status yang lebih tinggi dari statusnya pada
saat pelanggaran terjadi.
2.
Perceived Opportunity
Ada
non-shareable financial problem saja,
tidaklah akan menyebabkan orang melakukan fraud. Untuk memahami teori Cressey
kita harus ingat bahwa ketiga unsur
dalam fraud triangle harus ada, untuk bisa terjadi fraud. Non-shareable
financial problem menciptakan motif bagi terjadinya kejahatan. Akan tetapi,
pelaku kejahatan harus mempunyai persepsi bahwa ada peluang baginya untuk
melakukan kejahatan tanpa di ketahui orang lain.
Cressey
berpendapat, ada dua komponen dari persepsi dari peluang ini. Pertama, general
information, yang merupakan pengetahuan bahwa kedudukan yang mengandung trust
atau kepercayaan, dapat dilanggar tanpa konsekuensi. Pengetahuan ini diperoleh
dari apa yang ia lihat atau dengar, misalnya dari pengalaman orang lain yang
melakukan fraud yang tidk ketahuan atau tidak dihukum atau tidak terkena
sanksi. Kedua, technical skill atau keahlian/ keterampilan yang butuhkan untuk
melaksanakan kejahatan tersebut. Ini biasanya keahlian atau keterampilan yang
dipunyai orang itu dan yang menybabkan ia yang mendapat kedudukan tersebut.
Orang yang dipercyakan untuk mengisi cek yang akan ditandatangani atasannya,
membuat fraud yang berkaitan dengan pengisian cek. Petugas yang menangani
rekening di bank, mencuri dari nasabah yang jarang bertransaksi, pemasar
menggelapkan uang muka, dll. Mereka yang mempunyai posisi dengan kepercayaan di
bidang keuangan, ketika menghadapi non-shareable financial problems, akan
melihat general information dan technical skills sebagai jalan keluar dari
masalah itu. Posisi mereka yang mendapat kepercayaan atau trust, khusunya di
bidang keuangan, memungkinkan mereka memanfaatkan general information dan
technical skills yang mereka miliki.
3.
Rationalization
Rationalization
adalah
mencari pembenaran sebelum melakukan kejahatan, bukan sesudahnya. Mencari
pembenaran sebenarnya merupakan bagian yang harus ada dari kejahatan itu
sendiri bahkan merupakan bagian dari motivasi untuk melakukan kejahatan.
Rationalization diperlukan agar si pelaku dapat mencerna perilakunya yang
melawan hukum untuk tetap mempertahankan jati dirinya sebagai orang yang di
percaya.
Model
klasiknya Cressey mampu menjelaskan terjadinya berbagai fraud yang berkenaan
dengan kedudukan atau jabatan, tetapi tentunya tidak semuanya. Para ilmuwan
mengetes model Cressey ini, namun mereka belum berhasil mengembangkan aplikasi
praktisnya, misalnya dalam menciptakan program pencegahan fraud. Satu model
tentunya tidak bisa menjawab seluruh bentuk fraud. Di tambah lagi dengan
kenyataan bahwa kajian itu hamper setengah abad. Sesudah itu banyak terjadi
perubahan social. Sekarang, banyak professional di bidang pencegahan fraud
berpendapat bahwa telah lahir generasi pelaku fraud yang baru, suatu generasi
yang hati nuraninya tidak sanggup melwan godaan.
2.2.4 Mencegah Fraud
(Tujuan sub-bab
ini adalah para pembaca dapat mengaplikasikan pencegahan fraud)
Pencegahan Fraud
dilakukan dengan menggunakan sistem pengedalian internal. Ada pun pengertian
pengendalian internal menurut beberapa para ahli:
1.
Sebelum September 1992: Adalah, kondisi
yang diinginkan, atau merupakan hasil, dari berbagai proses yang dilaksanakan
suatu entitas untuk mencegah dan menimbulkan efek jera terhadap fraud.
2.
Menurut COSO ( The Comitte of Sponsoring
Organization of the Treadway Comission): Suatu proses, yang dirancang dan
dilaksanakan oleh dewan, manajemen, dan pegawai untuk memberikan kepastian yang
memadai dalam mencapai kegiatan usaha yang efektif dan efisien, keandalan laporan keuangan, dan
kepatuhan terhadap undang-undang dan peraturan lainnya yang relevan.
3.
AICPA 1988: Untuk tujuan audit saldo
laporan keuangan struktur pengendalian intern suatu entitas terdiri atas tiga
unsur: lingkungan pengendalian, system akuntansi, dan prosedur-prosedur
pengendalian.
4.
Khusus untuk Mencegah Fraud: Suatu sistem dengan proses dan prosedur yang
bertujuan khusus, di rancang dan dilaksanakan untuk tujuan utama, kalau bukan
satu-satunya tujuan, untuk mencegah dan menghalangi (dengan membuat jera)
terjadinya fraud.
Inilah
yang akan dipakai dalam pembahasan berikut, definisi dari pengendalian intern
yang secara khusus atau spesifik ditujukan untuk menangani fraud atau
fraud-specific internal control.
Semua pengendalian dapat di golongkan dalam
pengendalian aktif dan pengendalian intern pasif. Kata kunci untuk pengendalian
intern aktif adalah to prevent, mencegah. Kata kunci untuk pengendalian pasif
adalah to deter, mencegah karena konsukuensinya terlalu besar, membuat jera.
Kalau PBB atau Lembaga Pengawasan Atom dunia mengunjungi Negara-negara nuklir
untuk inspeksi instalasi nuklir mereka, ini adalah pengawasan aktif, akan
tetapi dua adikuasa yang berlomba-lomba membuat senjata nuklir ukuran besar di
zaman perang dingin, tidak bermaksud menggunakan senjata itu. Senjata ini adalah
untuk mendeter lawan menggunakannya, konsekuensinya terlalu besar.
2.2.4.1 Pengendalian Internal Aktif
Pengendalian
intern aktif biasanya merupakan bentuk pengendalian intern yang paling banyak
diterapkan. Ia seperti pagar-pagar yang menghalangi pencuri masuk ke halaman
rumah orang. Pagar-pagar ini membatasi, menghalangi, dan menutup akses si calon
pelaku fraud.
Sarana-sarana pengendalian intern aktif yang sering di pakai dan umumnya sudah
dikenal dalam system akuntansi, meliputi :
1.
Tanda tangan
2.
Tanda tangan kaunter : Pembubuhan tanda
tangan lebih dari satu
3.
Password dan PIN
4.
Pemisahan tugas
5.
Pengendalian asset secara fisik
6.
Pengendalian asset secara fisik
7.
Pagar, gembok, dan semua bangunan
penghalang fisik
8.
Pencocokan dokumen
9.
Formulir yang sudah di cetak nomornya
2.2.4.2 Pengendalian Internal Pasif
Contoh
pengendalian pasif, adalah dihilangkannya pintu berputar (turnstile) pada jalur
tertentu dari kereta api bawah tanah (dalam hal ini, Metro Red Line) di Los
Angeles. Tiket bisa di beli mesin-mesin semacam mesin ATM dengan harga US $
1,10. Di dalam kereta ada pemeriksa tiket yang melakukan tugasnya secara random.
Penumpang yang tidak bisa menunjukan tiket, akan di denda US$ 250.
Penumpang tidak usah menunjukkan tiket waktu
memasuki stasiun kereta, tidak ada pintu berputar menghalanginya. Kalau
penumpang mau “ngemplang”, hukumannya sangat berat. Kritikan dari kalangan
tertentu, menyatakan bahwa untuk setiap 100 penumpang, 99 tidak bayar tiket.
Sehingga perusahaan dirugikan sebesar US$108,90. Mereka lupa, bahwa satu saja
orang yang tertangkap tangan, harus membayar denda US$ 250.
Dari contoh di atas kita mencatat dua perbedaan
antara pengendalian intern aktif dan pengendalian intern pasif. Pertama dalam
hal biaya, pengendalian intern aktif jauh lebih mahal di banding pengendalian
pasif. Kedua, pengendalian intern aktif
kassat mata atau dapat diduga dan dapat di tembus. Pengendalian intern pasif,
di lain pihak, tidak kasat mata dan tidak dapat diduga. Beberapa bentuk lain
dari pengendalian intern pasif meliputi
:
Pengendalian yang khas untuk yang dihadapi,
merupakan hasil dari berfikir positif, ketika pengendalian intern aktif tidak
memberikan pemecahan.
Jejak audit, Sistem yang di komputerisasi sering
kali menggunakan pengendalian intern oasif, karena ada jejak-jejak mutasi atau
perubahan dalam catatan, yang terekam dalam system.
Dalam pengendalian pasif, dari permukaan kelihatan
tidak ada pengamanan, namun ada peredam yang membuat pelanggar atau pelaku
fraud akan jera. Peredam ini diumumkan secara luas, dan sistemnya memastikan
hal ini.
Manfaat dari pengendalian internal pasif adalah :
1. Tidak
mahal
2. Tidak
bergantung pada manusia, tidak people dependent. Oleh karena itu, pengendalian
intern pasif kebal kepada kelemahan manusia, seperti lengah, korupsi, teledor
dan lain-lain.
3. Tidak
memengaruhi produktivitas, tidak memperlambat pelayanan
4. Tidak
rawan untuk di tembus atau disusupi pelaku fraud.
2.2.5 Mendeteksi Fraud
(Tujuan sub-bab
ini adalah mengaplikasikan cata mendetekasi fraud.)
Perbedaan antara
audit dan fraud examination:
Issue
|
Auditing
|
Fraud
Examination
|
Timing
|
Recurring
Audit
dilakukan secara teratur, berkala, dan berulang kembali (recurring).
|
Non-recurring
Pemeriksaan
fraud tidak berulang kembali, dilakukan setelah ada cukup indikasi.
|
Scope
|
General
Lingkup
audit adalah pemeriksaan umum atas data keuangan
|
Specific
Pemeriksaan
fraud diarahkan pada dugaan, tuduhan atau sangkaan yang spesifik.
|
Objective
|
Opinion
Tujuan
audit adalah untuk memberikan pendapat atas kewajaran laporan keuangan
|
Affix
Blame
Tujuan
pemeriksaan fraud adalah untuk memastikan apakah fraud memang terjadi, dan
untuk menentukan siapa yang bertanggung jawab.
|
Relationship
|
Non-adversarial
Sifat
pekerjaan audit adalah tidak bermusuhan.
|
Adversial
Karena
pada akhirnya pemeriksa harus menentukan siapa yang bersalah, sifat
pemeriksaan fraud adalah bermusuhan.
|
Methodologi
|
Audit
Techniques
Audit
dilakukan terutama dengan pemeriksaan data keuangan.
|
Fraud
Examination Techniques
Pemeriksaan
fraud dilakukan dengan memeriksa dokumen, telaah data ekstern, dan wawancara.
|
Presumption
|
Profesional
Skepticism
Auditor
melaksanakan tugasnya dengan professional skepticism
|
Proof
Pemeriksa
fraud berupaya mengumpulkan bukti untuk mendukung atau membantah dugaan,
tuduhan atau sangkaan terjadinya fraud.
|
2.2.5.1 Pelajaran dari Report to
the Nation
Laporan ini memberikan banyak
petunjuk untuk mencegah maupun mendeteksi fraud. Beberapa pelajaran dari
laporan tersebut, mengenai deteksi fraud.
1. Rata-rata
(median) berlangsungnya fraud sebelum di deteksi adalah lebih dari satu tahun,
yakni antara 17 sampai 30 bulan
2. Bagaimana
fraud terungkap ? Hampir separuhnya
di ketahui karena ada yang membocorkan (tip). Sedangkan seluruh fraud terungkap secara kebetulan, jadi bukan oleh fraud examiner, internal auditor, maupun external auditor.
di ketahui karena ada yang membocorkan (tip). Sedangkan seluruh fraud terungkap secara kebetulan, jadi bukan oleh fraud examiner, internal auditor, maupun external auditor.
3. Bahkan
kalau fraud dilakukan oleh majikan atau pemilik, lebih dari separuhnya
terungkap karena tip. Bocoran tip datang dari karyawan.
Data di atas adalah untuk Amerika Serikat. Di
Indonesia belum ada penelitian berkala nasional mengenai pengungkapan fraud.
Akan tetapi, kalau temuan dalam Report to the Nation dapat menjadi petunjuk,
kita mempunyai berita baik dan berita buruk.
Berita baiknya ialah bahwa dengan design system yang
tepat, ada peluang dan insentif untuk terjadinya pembocoran mengenai fraud yang
sudah, sedang, atau akan terjadi. Pentingnya hal ini terlihat dalam teknik
audit investigative “Wishtle Blower”.
Berita buruknya adalah di Negara maju seperti
Amerika serikat saja di butuhkan lebih dari satu tahun sampai hamper tiga tahun
untuk mendeteksi fraud. Berita buruknya adalah bahwa fraud terdeteksi secara
“kebetulan”.
2.2.5.2 Teknik Pemeriksaan Fraud
Ada bermacam-macam teknik audit
investigative untuk mengungkap fraud, yaitu :
- Penggunaan teknik-teknik audit yang dilakukan oleh internal maupun eksternal auditor dalam mengaudit laporan keuangan,
- Pemanfaatan teknik audit investigative dalam kejahatan terorganisir dan penyelundupan pajak penghasilan, yang juga dapat diterapkan terhadap data kekayaan pejabat Negara.
- Penulusuran jejak-jejak arus uang
- Penerapan teknik analisis dalam bidang hukum.
- Penggunaan teknik audit investigative untuk mengungkap fraud dalam pengadaan barang
- Penggunaan computer forensics
- Penggunaan operasi penyamaran
- Pemanfaatan wishtleblower
Downlad Full File with Source and picture (Akuntansi Forensik, Audit Kecurangan, Audit Investigatif, dan Audit Berbasis Risiko) here
Downlad Power Point (Akuntansi Forensik, Audit Kecurangan, Audit Investigatif, dan Audit Berbasis Risiko) here
Credit : Shein Shein
Please take full credit for taking out
No comments:
Post a Comment
Comment = respect = encourage ^^
Thank you ♥♥♥♥♥